Frekuensi dan Kepemilikan Media
Oleh Dirga Maulana**
Pasca runtuhnya rezim otoriter kemudian memasuki babak transisi-konsolidasi demokrasi menjadi petanda bahwa banyak kekuatan ekonomi yang muncul. Salah satunya adalah kepemilikan media yang semakin bervariasi, hadirnya media massa di tengah kebutuhan masyarakat akan informasi memiliki peran penting dalam proses penciptaan ruang publik.
Esensi dari ruang publik adalah terciptanya perdebatan-dewasa “diskursus” yang kian matang. Di mana media mampu memberikan saluran dan menciptakan kesadaran kritis warganya. Namun menjadi kendala ketika media dijadikan sebagai alat politik kaum elit-pengusaha untuk kepentingan bisnis dan politik. Media keluar dari “ruang publik” ke “ruang privat”, hal senada pernah diungkapkan oleh Hannah Arendt, bahwa media kerapkali menyalurkan kepentingan pemilik dibandingkan kepentingan publik. Kepentingan publik terpinggirkan dengan adanya kepentingan privat si-pemilik media.
Kepemilikan Media
Sebut saja MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoe, tvOne pemiliknya adalah Aburizal Bakrie, dan Metrotv dimiliki oleh Surya Paloh. Mereka merupakan petinggi partai politik yang ikut konstestasi untuk pemenangan pemilu 2014, baik pemilihan presiden maupun parlemen. Anggapan bahwa rakyat melulu berhadapan dengan media dianggap sebagai “konsumen”, dan ketika berhadapan dengan politisi dianggap sebagai “konstituen”. Hal ini menandakan pada ciri demokrasi kita masih pada tahapan konsolidasi, yang semestinya diperkuat dengan kehadiran media massa untuk penguatan hak politik warga. Bukan sebaliknya media tercerabut pada arus kapitalisme global. Konsekuensinya, jika media melulu bicara soal untung dan sibuk menaikan rating, maka tidak bisa dimungkiri bahwa media di Indonesia akan semakin kaya dan demokrasi kita semakin miskin. Akibatnya publik hanya dieksploitasi sebagai komoditas.
Peristiwa seperti ini mengingatkan kita pada studi klasik yang ditulis oleh Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital, yang mana melihat pertumbuhan kaum borjuis lokal dalam sistem kapital. Robison meletakkan ekonomi-politik sebagai jantung kajian tentang politik dan masyarakat Indonesia. Pada saat ini kita bisa melihat perkembangan kepemilikan media di Indonesia yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh “borjuis lokal”. Kekuatan kapital menjadi penentu dalam kebijakan redaksi maupun kebijakan politik. Kita bisa saksikan bagaimana pertumbuhan kapital di industri media mengikuti alur kepentingan modal sekaligus politik. Dalam proses akumulasi itu, kepentingan kapital mencoba menundukkan regulasi yang dihasilkan oleh semangat reformasi dan demokratisasi. Dalam pertarungan kepentingan modal, industri media melakukan propaganda media sekaligus menjadi alat politik pemiliknya.
Di tengah laju industri media di era reformasi, terkuak ekspansi modal besar serta meningkatnya sentralisasi kepemilikan media pada segelintir perusahaan. Hal ini tentu, akan menimbulkan kekhawatiran publik akan keragaman isi “diversity of content” dan bias politik media yang pemiliknya berafiliasi dengan partai politik tertentu. Meminjam perkataan McChesney, melihat ruang publik yang dibuka oleh media demokratis akan secara otomatis mengerut, saat rasionalitas birokratis atau modal mengambil alih fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media. (McChesney: 1997, 29).
Maksudnya, ruang publik terancam dengan adanya kepemilikan media yang semakin sadar medianya digunakan untuk akumulasi modal dan kepentingan politik. Khususnya televisi, memiliki kekhasan yang cukup unik dalam ekspansi modal. Seperti kita ketahui bahwa televisi merupakan salah satu instrumen sangat ampuh dalam memupuk budaya massa, baik yang ditayangkan lewat isi siaran maupun iklan.
Parahnya kini muncul beragam ekspresi untuk menampilkan calon-calon presiden dalam iklan politik. WIN-HT mencoba mengakali dengan membuat “kuis kebangsaan” di RCTI dan “kuis cerdas” di Global TV. Kuis yang notabene untuk pencitraan sekaligus kampaye ini jelas-jelas telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh KPU tentang masa kampanye di televisi, 21 hari menjelang pemilu. KPI sebagai punggawa publik tidak bisa berkutik pada televisi “nakal” yang saat ini dikuasai oleh “borjuis kerdil” yang menggunakan medianya sebagai saluran politik. Mereka para pemilik media tidak segan-segan melakukan “serangan udara” pada publik untuk “menyublimasi kesadaran” sehingga memunculkan “kesadaran palsu”. Tentu tujuannya untuk meningkatkan elektabilitas partai dan popularitas pribadi.
Lain cerita dengan Aburizal Bakrie, menyebar iklannya di dua stasiun miliknya yakni tvOne dan ANTV dengan menggambarkan kedekatannya dengan rakyat serta pemimpin yang “dielu-elukan” oleh rakyat banyak. Dicatat dalam data KPI sepanjang Oktober 2013 Aburizal Bakrie beriklan di stasiun miliknya sebanyak 430 iklan spot. Berbeda dengan Surya Paloh, pidatonya sering disorot kamera televisinya Metro TV sebagai pemimpin yang pandai beretorika dengan kegagahan dan suara yang ambisius. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen bahwa pidato Surya Paloh berkisar 3-6 menit. Kemudian Metro TV juga seringkali mengiklankan partai Nasdem dengan lagu-lagu nasionalis yang menyentuh.
Tentu ini menjadi masalah ketika televisi yang menggunakan frekuensi dan itu merupakan sumber daya alam terbatas yang dimiliki oleh publik, namun penggunaannya kerapkali digunakan seenaknya oleh pemilik media untuk pemberitaan maupun iklan. Karena frekuensi penyiaran adalah komoditas ekonomi yang sangat penting. Frekuensi mampu menjangkau cakupan lebih luas yang membuat lembaga penyiaran melakukan ekspansi besar-besaran terhadap audiens.
Meminjam perkataan Agus Sudibyo bahwa Kita bisa katakan kebangkitan industri pertelevisian di Indonesia adalah bagian penting dari kisah lebih besar tentang kebangkitan modal dari era otoriter ke demokrasi. Industri ini juga bagian dari kisah mengenai berlanjutnya dominasi oligarki kapitalis di tengah demokratisasi.
Pelemahan Regulasi
Napas dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan bukti konkrit bahwa media berhak di kontrol oleh publik. Tujuan dari peraturan tersebut berupaya mengubah kontrol negara atas media menjadi kendali berbasis publik. Selain menurunkan dan mengurangi intervensi pemerintah hingga level terendah, undang-undang tersebut juga bermaksud mencegah monopoli kepemilikan media, sehingga memanipulasi informasi dan opini publik tidak akan terjadi.
Prinsip “keragaman kepemilikan dan keragaman isi” (diversity of ownership and diversity of content) diejawantahkan melalui pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga independen berbasis komunitas yang berfungsi sebagai regulator penyiaran di Indonesia. Tugas KPI sangat berat dalam menghadapi gempuran antara kepemilikan media, negara dan kepentingan publik. Kita menganggap siaran televisi merupakan ranah kepentingan publik, namun operasi aktualnya sangat dipengaruhi oleh dinamika dan cara kapital memanfaatkan liberalisasi media. Liberalisasi tidak serta-merta menyingkirkan negara dari media. Yang sesungguhnya terjadi adalah kapital dan negara bahu-membahu menjalankan kembali kontrol atas media demi keuntungan timbal-balik.
Kita bisa melihat bagaimana pemerintah dan pemilik media melakukan peninjauan kembali (judicial riview) UU No. 32/2002 dan pengesahan paket undang-undang tentang penyiaran pada tahun 2005. Terlihat jelas bahwa mereka menyatukan kepentingan bersama: menyingkirkan ancaman terhadap kontrol atas media penyiaran yang dilaksanakan oleh perwakilan khalayak luas melalui lembaga-lembaga baru yang dibentuk oleh Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002.
Kita tentu masih ingat, bagaimana KPI dilemahkan dengan adanya judicial review yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Penyiaran 2002. Dengan putusan bahwa peranan KPI turut menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Penyiaran 2002 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal Pasal itu amat vital bagi kehidupan KPI, karena menyangkut peranannya sebagai regulator penyiaran. Tentu saja, putusan itu merupakan angin segar bagi pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi untuk membuat sejumlah regulasi turunan UU Penyiaran berupa Peraturan Pemerintah tanpa perlu melibatkan KPI.
Kini, KPI hanya berwenang dalam bidang isi siaran. Kewenangan memberikan izin dan rekomendasi sepenuhnya dikembalikan pada pemerintah. Hal ini membuka peluang kolusi antara pengusaha dengan pemerintah yang menghasilkan kebijakan “ramah pasar” yang menguntungkan pengusaha sekaligus pemilik stasiun televisi.
Kita ketahui bahwa Pemerintah mencoba menertibkan pelbagai PP, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Kecenderungan rebirokratisasi tersebut jelas ingin memperkuat posisi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai regulator penyiaran nasional dan memangkas kewenangan KPI sebagai badan regulator penyiaran yang mewakili kepentingan publik.
Pendek kata, bahwa pemerintah masih ingin mendominasi untuk mendapatkan keuntungan dari kelompok-kelompok kapitalis besar dan mapan serta mengembangbiakkan kepentingan dan mengonsentrasikan kepemilikan di industri dengan membajak kebijakan berorientasi pasar, serta memanfaatkan jalur hukum untuk memajukan kepentingan masing-masing.
Sebagai penutup bisnis media semakin penting dan sebagai alat politik dalam kancah demokrasi indonesia. Bagaimana pengusaha dan pemerintah bahu-membahu menguasai industri media dengan menggunakan frekuensi milik publik untuk mengeksploitasi masyarakat sebagai komoditas. Dengan begitu, masyarakat harus mendorong peran KPI dalam menciptakan “kedaulatan frekuensi” untuk kepentingan publik.
**Penulis adalah Peneliti The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)
Oleh Dirga Maulana**
Pasca runtuhnya rezim otoriter kemudian memasuki babak transisi-konsolidasi demokrasi menjadi petanda bahwa banyak kekuatan ekonomi yang muncul. Salah satunya adalah kepemilikan media yang semakin bervariasi, hadirnya media massa di tengah kebutuhan masyarakat akan informasi memiliki peran penting dalam proses penciptaan ruang publik.
Esensi dari ruang publik adalah terciptanya perdebatan-dewasa “diskursus” yang kian matang. Di mana media mampu memberikan saluran dan menciptakan kesadaran kritis warganya. Namun menjadi kendala ketika media dijadikan sebagai alat politik kaum elit-pengusaha untuk kepentingan bisnis dan politik. Media keluar dari “ruang publik” ke “ruang privat”, hal senada pernah diungkapkan oleh Hannah Arendt, bahwa media kerapkali menyalurkan kepentingan pemilik dibandingkan kepentingan publik. Kepentingan publik terpinggirkan dengan adanya kepentingan privat si-pemilik media.
Kepemilikan Media
Sebut saja MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoe, tvOne pemiliknya adalah Aburizal Bakrie, dan Metrotv dimiliki oleh Surya Paloh. Mereka merupakan petinggi partai politik yang ikut konstestasi untuk pemenangan pemilu 2014, baik pemilihan presiden maupun parlemen. Anggapan bahwa rakyat melulu berhadapan dengan media dianggap sebagai “konsumen”, dan ketika berhadapan dengan politisi dianggap sebagai “konstituen”. Hal ini menandakan pada ciri demokrasi kita masih pada tahapan konsolidasi, yang semestinya diperkuat dengan kehadiran media massa untuk penguatan hak politik warga. Bukan sebaliknya media tercerabut pada arus kapitalisme global. Konsekuensinya, jika media melulu bicara soal untung dan sibuk menaikan rating, maka tidak bisa dimungkiri bahwa media di Indonesia akan semakin kaya dan demokrasi kita semakin miskin. Akibatnya publik hanya dieksploitasi sebagai komoditas.
Peristiwa seperti ini mengingatkan kita pada studi klasik yang ditulis oleh Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital, yang mana melihat pertumbuhan kaum borjuis lokal dalam sistem kapital. Robison meletakkan ekonomi-politik sebagai jantung kajian tentang politik dan masyarakat Indonesia. Pada saat ini kita bisa melihat perkembangan kepemilikan media di Indonesia yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh “borjuis lokal”. Kekuatan kapital menjadi penentu dalam kebijakan redaksi maupun kebijakan politik. Kita bisa saksikan bagaimana pertumbuhan kapital di industri media mengikuti alur kepentingan modal sekaligus politik. Dalam proses akumulasi itu, kepentingan kapital mencoba menundukkan regulasi yang dihasilkan oleh semangat reformasi dan demokratisasi. Dalam pertarungan kepentingan modal, industri media melakukan propaganda media sekaligus menjadi alat politik pemiliknya.
Di tengah laju industri media di era reformasi, terkuak ekspansi modal besar serta meningkatnya sentralisasi kepemilikan media pada segelintir perusahaan. Hal ini tentu, akan menimbulkan kekhawatiran publik akan keragaman isi “diversity of content” dan bias politik media yang pemiliknya berafiliasi dengan partai politik tertentu. Meminjam perkataan McChesney, melihat ruang publik yang dibuka oleh media demokratis akan secara otomatis mengerut, saat rasionalitas birokratis atau modal mengambil alih fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media. (McChesney: 1997, 29).
Maksudnya, ruang publik terancam dengan adanya kepemilikan media yang semakin sadar medianya digunakan untuk akumulasi modal dan kepentingan politik. Khususnya televisi, memiliki kekhasan yang cukup unik dalam ekspansi modal. Seperti kita ketahui bahwa televisi merupakan salah satu instrumen sangat ampuh dalam memupuk budaya massa, baik yang ditayangkan lewat isi siaran maupun iklan.
Parahnya kini muncul beragam ekspresi untuk menampilkan calon-calon presiden dalam iklan politik. WIN-HT mencoba mengakali dengan membuat “kuis kebangsaan” di RCTI dan “kuis cerdas” di Global TV. Kuis yang notabene untuk pencitraan sekaligus kampaye ini jelas-jelas telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh KPU tentang masa kampanye di televisi, 21 hari menjelang pemilu. KPI sebagai punggawa publik tidak bisa berkutik pada televisi “nakal” yang saat ini dikuasai oleh “borjuis kerdil” yang menggunakan medianya sebagai saluran politik. Mereka para pemilik media tidak segan-segan melakukan “serangan udara” pada publik untuk “menyublimasi kesadaran” sehingga memunculkan “kesadaran palsu”. Tentu tujuannya untuk meningkatkan elektabilitas partai dan popularitas pribadi.
Lain cerita dengan Aburizal Bakrie, menyebar iklannya di dua stasiun miliknya yakni tvOne dan ANTV dengan menggambarkan kedekatannya dengan rakyat serta pemimpin yang “dielu-elukan” oleh rakyat banyak. Dicatat dalam data KPI sepanjang Oktober 2013 Aburizal Bakrie beriklan di stasiun miliknya sebanyak 430 iklan spot. Berbeda dengan Surya Paloh, pidatonya sering disorot kamera televisinya Metro TV sebagai pemimpin yang pandai beretorika dengan kegagahan dan suara yang ambisius. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen bahwa pidato Surya Paloh berkisar 3-6 menit. Kemudian Metro TV juga seringkali mengiklankan partai Nasdem dengan lagu-lagu nasionalis yang menyentuh.
Tentu ini menjadi masalah ketika televisi yang menggunakan frekuensi dan itu merupakan sumber daya alam terbatas yang dimiliki oleh publik, namun penggunaannya kerapkali digunakan seenaknya oleh pemilik media untuk pemberitaan maupun iklan. Karena frekuensi penyiaran adalah komoditas ekonomi yang sangat penting. Frekuensi mampu menjangkau cakupan lebih luas yang membuat lembaga penyiaran melakukan ekspansi besar-besaran terhadap audiens.
Meminjam perkataan Agus Sudibyo bahwa Kita bisa katakan kebangkitan industri pertelevisian di Indonesia adalah bagian penting dari kisah lebih besar tentang kebangkitan modal dari era otoriter ke demokrasi. Industri ini juga bagian dari kisah mengenai berlanjutnya dominasi oligarki kapitalis di tengah demokratisasi.
Pelemahan Regulasi
Napas dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan bukti konkrit bahwa media berhak di kontrol oleh publik. Tujuan dari peraturan tersebut berupaya mengubah kontrol negara atas media menjadi kendali berbasis publik. Selain menurunkan dan mengurangi intervensi pemerintah hingga level terendah, undang-undang tersebut juga bermaksud mencegah monopoli kepemilikan media, sehingga memanipulasi informasi dan opini publik tidak akan terjadi.
Prinsip “keragaman kepemilikan dan keragaman isi” (diversity of ownership and diversity of content) diejawantahkan melalui pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga independen berbasis komunitas yang berfungsi sebagai regulator penyiaran di Indonesia. Tugas KPI sangat berat dalam menghadapi gempuran antara kepemilikan media, negara dan kepentingan publik. Kita menganggap siaran televisi merupakan ranah kepentingan publik, namun operasi aktualnya sangat dipengaruhi oleh dinamika dan cara kapital memanfaatkan liberalisasi media. Liberalisasi tidak serta-merta menyingkirkan negara dari media. Yang sesungguhnya terjadi adalah kapital dan negara bahu-membahu menjalankan kembali kontrol atas media demi keuntungan timbal-balik.
Kita bisa melihat bagaimana pemerintah dan pemilik media melakukan peninjauan kembali (judicial riview) UU No. 32/2002 dan pengesahan paket undang-undang tentang penyiaran pada tahun 2005. Terlihat jelas bahwa mereka menyatukan kepentingan bersama: menyingkirkan ancaman terhadap kontrol atas media penyiaran yang dilaksanakan oleh perwakilan khalayak luas melalui lembaga-lembaga baru yang dibentuk oleh Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002.
Kita tentu masih ingat, bagaimana KPI dilemahkan dengan adanya judicial review yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Penyiaran 2002. Dengan putusan bahwa peranan KPI turut menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Penyiaran 2002 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal Pasal itu amat vital bagi kehidupan KPI, karena menyangkut peranannya sebagai regulator penyiaran. Tentu saja, putusan itu merupakan angin segar bagi pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi untuk membuat sejumlah regulasi turunan UU Penyiaran berupa Peraturan Pemerintah tanpa perlu melibatkan KPI.
Kini, KPI hanya berwenang dalam bidang isi siaran. Kewenangan memberikan izin dan rekomendasi sepenuhnya dikembalikan pada pemerintah. Hal ini membuka peluang kolusi antara pengusaha dengan pemerintah yang menghasilkan kebijakan “ramah pasar” yang menguntungkan pengusaha sekaligus pemilik stasiun televisi.
Kita ketahui bahwa Pemerintah mencoba menertibkan pelbagai PP, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Kecenderungan rebirokratisasi tersebut jelas ingin memperkuat posisi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai regulator penyiaran nasional dan memangkas kewenangan KPI sebagai badan regulator penyiaran yang mewakili kepentingan publik.
Pendek kata, bahwa pemerintah masih ingin mendominasi untuk mendapatkan keuntungan dari kelompok-kelompok kapitalis besar dan mapan serta mengembangbiakkan kepentingan dan mengonsentrasikan kepemilikan di industri dengan membajak kebijakan berorientasi pasar, serta memanfaatkan jalur hukum untuk memajukan kepentingan masing-masing.
Sebagai penutup bisnis media semakin penting dan sebagai alat politik dalam kancah demokrasi indonesia. Bagaimana pengusaha dan pemerintah bahu-membahu menguasai industri media dengan menggunakan frekuensi milik publik untuk mengeksploitasi masyarakat sebagai komoditas. Dengan begitu, masyarakat harus mendorong peran KPI dalam menciptakan “kedaulatan frekuensi” untuk kepentingan publik.
**Penulis adalah Peneliti The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)
MEMBACA Bintang Di Atas Alhambra (BDA) seperti membaca rangkuman tiga novel sekaligus:Laskar Pelangi, Negeri Lima Menaradan 99 Cahaya. Novel ini dimulai dari kisah yang terkesan sedikit klise: sukses bisa diraih oleh siapa pun yang ingin meraihnya, termasuk oleh seorang anak kampung yang hanya bermodal mimipi setinggi langit.
Dimulai dari sebuah desa kecil di Kuningan, Jawa Barat, kisah novel ini berakhir di sebuah kota di semenanjung Iberia, tepatnya di Granada, Andalusia Spanyol.
Seperti layaknya novel-novel lain, BDA sepertinya ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya. Semacam otobiografi. Kelebihan novel jenis ini adalah kuatnya pengalaman batin penulis dan kedetailan yang membuat kita seolah-olah bersama tokoh utama mengikuti petualangannya.
Novel ini mengisahkan seorang anak kampung bernama Iip yang berutung bisa mewujudkan mimpinya sekolah di universitas ternama di Melbourne, Australia dan lantas bersama sahabat baiknya berkelana ke Eropa. Gabungan secara sekaligus latar perkampungan kecil di bumi Parahyangan, kehidupan metropolitan Melbourne dan Eropa mengingatkan pembaca pada novel petualangan semisal 99 Cahaya di Langit Eropa. Bedanya, dalam novel ini pembaca dibawa berputar dahulu ke Australia sebelum akhirnya singgah di Eropa, terutama di Andalusia, Spanyol.
Dalam novel ini penulis mengisahkan hidupnya di pesantren tradisional. Cerita di pondok tradisional selama ini belum banyak diangkat ke dalam cerita. Ahmad Fuadi telah berhasil dengan sangat memukau menceritakan kehidupan di pondok pesantren modern dalam Negeri Lima Menara. BDA sebenarnya sudah lumayan berhasil menggambarkan kehidupan pesantren tradisional. Namun sayangnya, mungkin karena keterbatasan ruang, novel ini hanya singgah saja dalam kehidupan pondok untuk menggambarkan sedikit latar belakang sang tokoh utama, Iip.
Novel inspiratif ?
Meskipun sebuah cerita bisa menjadi inspirasi bagi pembacanya, tak adil rasanya jika kita menilai karya sastra dari sejauh mana karya ini memberi inspirasi atau tidak. Namun diakui atau tidak, genre ‘novel inspiratif’ ini belakangan menjadi trend di dalam khasanah dunia buku di Indonesia. Hampir semua novel laris menyuguhkan cerita-cerita yang dianggap bisa memberikan motivasi dan inspirasi bagi pembacanya.
BDA sepertinya dalam beberapa hal ‘terjebak’ ke dalam trend besar ini. Tanpa mengurangi kenikmatan membaca kisah-kisah yang haru dan lucu di dalamnya, BDA sepertinya terjebak oleh trend pasar yang membuat ceritanya harus dibuat inspiratif. Jika pembaca jeli, mestinya konflik antara Iip, sanga tokoh utama, Lisa Gomez, sahabat Iip yang menemani petualangannya berkelana ke Eropa dengan Mira Asmarandana, istri Iip, bisa diperuncing menjadi sebuah drama yang lebih mendebarkan. Namun rupanya Ang Zen, sang penulis, tak mau membawa alurnya ke arah itu. Alih-alih, dia hanya dengan malu-malu menunjukan konflik ini.
Dengan menyuguhkan kisah sebuah keluarga muda yang hidup di luar negeri karena Iip harus sekolah, sebenarnya novel ini sudah berhasil keluar dari kebiasaan novel lain yang selalu menyuguhkan romansa atau petualangan muda-mudi lajang. Namun sayang konlik rupanya sengaja dihindari, atau tidak ditonjolkan dalam novel ini. Memang kita bisa melihat konflik batin Mira yang selalu cemburu pada Lisa yang sering bersama suaminya. Atau konflik batin Iip yang harus menjaga persahabatan tak melangkah lebih jauh. Namun lagi-lagi, mestinya konflik bisa diperuncing agar lebih mengharu-biru.
Alhambra
Ketika pertama melihat sampul novel ini, orang akan langsung tertarik dengan kata Alhambra. Apa gerangan Alhambra? Sepertinya kata ini dipilih dengan sengaja untuk menarik pembaca. Dan menurut saya, usaha ini lumayan berhasil. Ang Zen berhasil mengangkat misteri istana super megah yang telah lama terpendam dalam sejarah Islam ke hadapan pembaca.
Iip sejak di pondok selalu disuguhi cerita kejayaan masa lalu agamanya di semenanjung Iberia, Spanyol sekarang. Mimpi untuk bisa melihat istana termegah dan penuh misteri ini membawanya berpetualang ke Eropa dan Spanyol. Dia tak sendiri. Ada Lisa Gomez, sahabatnya yang ia jumpai di Melbourne, yang juga mempunyai mimpi yang sama. Lisa Gomez adalah seorang gadis dari Santiago, Chili yang ingin mengunjungi negeri tempat kakek buyutnya berasal: Spanyol. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Komarudin Hidayat, aspek inilah yang membuat novel ini menarik: petualangan dua orang dari dua tradisi dan dua belahan dunia berbeda untuk berkunjung ke satu tempat yan sama: Alhambra! Novel ini tak hanya berhasil menelusuri khasanah sejarah Islam, tetapi juga sejarah Kristiani
Dalam petualangan menuju Alhambra inilah Ang Zen membawa pembaca pada diskusi sejarah yang kadang-kadang mengejutkan pembaca seperti kisah tentang Snouck Hurgronje, asal usul hukum internasional dan lain-lain. Tepat disinilah saya kira kelebihan BDA dari novel lain yang saya sebutkan di atas. Tetapi memang harus diakui, buat pembaca kadang data-data sejarah ini bisa sedikit membosankan, meski penulis telah berusaha keras meramunya dalam bahasa yang mengalir dan hidup.
Tetapi jangan khawatir, novel ini menyuguhkan juga cerita lucu dan kadang konyol. Ang Zen rasanya berhasil membuat ibu-ibu terharu ketika bercerita tentang pengalaman istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit di Melbourne. Saya juga sangat terkesan dengan kisahnya terdampar di Utrecht dengan hanya mengenakan kolor. Sungguh lucu dan haru.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangnnya saya rasa BDA bisa menjadi bacaan menarik dan cerdas, selain kaya. Selamat membaca! [***]
Judul Buku : Bintang di Atas Alhambra
Penulis : Ang Zen
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Genre : Novel petualangan
Penerbit : Bunyan, Kelompok Bentang Putaka
Terbit : November 2013
Halaman : x, 358
ISBN : ISBN 978-602-7888-86-9
Dirga Maulana
Penikmat Novel dan aktif di Forum Studi Media (FSM)
Tulisan ini telah dimuat di http://www.rmol.co/read/2014/02/21/144777/Menembus-Bintang-Alhambra-
Dimulai dari sebuah desa kecil di Kuningan, Jawa Barat, kisah novel ini berakhir di sebuah kota di semenanjung Iberia, tepatnya di Granada, Andalusia Spanyol.
Seperti layaknya novel-novel lain, BDA sepertinya ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya. Semacam otobiografi. Kelebihan novel jenis ini adalah kuatnya pengalaman batin penulis dan kedetailan yang membuat kita seolah-olah bersama tokoh utama mengikuti petualangannya.
Novel ini mengisahkan seorang anak kampung bernama Iip yang berutung bisa mewujudkan mimpinya sekolah di universitas ternama di Melbourne, Australia dan lantas bersama sahabat baiknya berkelana ke Eropa. Gabungan secara sekaligus latar perkampungan kecil di bumi Parahyangan, kehidupan metropolitan Melbourne dan Eropa mengingatkan pembaca pada novel petualangan semisal 99 Cahaya di Langit Eropa. Bedanya, dalam novel ini pembaca dibawa berputar dahulu ke Australia sebelum akhirnya singgah di Eropa, terutama di Andalusia, Spanyol.
Dalam novel ini penulis mengisahkan hidupnya di pesantren tradisional. Cerita di pondok tradisional selama ini belum banyak diangkat ke dalam cerita. Ahmad Fuadi telah berhasil dengan sangat memukau menceritakan kehidupan di pondok pesantren modern dalam Negeri Lima Menara. BDA sebenarnya sudah lumayan berhasil menggambarkan kehidupan pesantren tradisional. Namun sayangnya, mungkin karena keterbatasan ruang, novel ini hanya singgah saja dalam kehidupan pondok untuk menggambarkan sedikit latar belakang sang tokoh utama, Iip.
Novel inspiratif ?
Meskipun sebuah cerita bisa menjadi inspirasi bagi pembacanya, tak adil rasanya jika kita menilai karya sastra dari sejauh mana karya ini memberi inspirasi atau tidak. Namun diakui atau tidak, genre ‘novel inspiratif’ ini belakangan menjadi trend di dalam khasanah dunia buku di Indonesia. Hampir semua novel laris menyuguhkan cerita-cerita yang dianggap bisa memberikan motivasi dan inspirasi bagi pembacanya.
BDA sepertinya dalam beberapa hal ‘terjebak’ ke dalam trend besar ini. Tanpa mengurangi kenikmatan membaca kisah-kisah yang haru dan lucu di dalamnya, BDA sepertinya terjebak oleh trend pasar yang membuat ceritanya harus dibuat inspiratif. Jika pembaca jeli, mestinya konflik antara Iip, sanga tokoh utama, Lisa Gomez, sahabat Iip yang menemani petualangannya berkelana ke Eropa dengan Mira Asmarandana, istri Iip, bisa diperuncing menjadi sebuah drama yang lebih mendebarkan. Namun rupanya Ang Zen, sang penulis, tak mau membawa alurnya ke arah itu. Alih-alih, dia hanya dengan malu-malu menunjukan konflik ini.
Dengan menyuguhkan kisah sebuah keluarga muda yang hidup di luar negeri karena Iip harus sekolah, sebenarnya novel ini sudah berhasil keluar dari kebiasaan novel lain yang selalu menyuguhkan romansa atau petualangan muda-mudi lajang. Namun sayang konlik rupanya sengaja dihindari, atau tidak ditonjolkan dalam novel ini. Memang kita bisa melihat konflik batin Mira yang selalu cemburu pada Lisa yang sering bersama suaminya. Atau konflik batin Iip yang harus menjaga persahabatan tak melangkah lebih jauh. Namun lagi-lagi, mestinya konflik bisa diperuncing agar lebih mengharu-biru.
Alhambra
Ketika pertama melihat sampul novel ini, orang akan langsung tertarik dengan kata Alhambra. Apa gerangan Alhambra? Sepertinya kata ini dipilih dengan sengaja untuk menarik pembaca. Dan menurut saya, usaha ini lumayan berhasil. Ang Zen berhasil mengangkat misteri istana super megah yang telah lama terpendam dalam sejarah Islam ke hadapan pembaca.
Iip sejak di pondok selalu disuguhi cerita kejayaan masa lalu agamanya di semenanjung Iberia, Spanyol sekarang. Mimpi untuk bisa melihat istana termegah dan penuh misteri ini membawanya berpetualang ke Eropa dan Spanyol. Dia tak sendiri. Ada Lisa Gomez, sahabatnya yang ia jumpai di Melbourne, yang juga mempunyai mimpi yang sama. Lisa Gomez adalah seorang gadis dari Santiago, Chili yang ingin mengunjungi negeri tempat kakek buyutnya berasal: Spanyol. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Komarudin Hidayat, aspek inilah yang membuat novel ini menarik: petualangan dua orang dari dua tradisi dan dua belahan dunia berbeda untuk berkunjung ke satu tempat yan sama: Alhambra! Novel ini tak hanya berhasil menelusuri khasanah sejarah Islam, tetapi juga sejarah Kristiani
Dalam petualangan menuju Alhambra inilah Ang Zen membawa pembaca pada diskusi sejarah yang kadang-kadang mengejutkan pembaca seperti kisah tentang Snouck Hurgronje, asal usul hukum internasional dan lain-lain. Tepat disinilah saya kira kelebihan BDA dari novel lain yang saya sebutkan di atas. Tetapi memang harus diakui, buat pembaca kadang data-data sejarah ini bisa sedikit membosankan, meski penulis telah berusaha keras meramunya dalam bahasa yang mengalir dan hidup.
Tetapi jangan khawatir, novel ini menyuguhkan juga cerita lucu dan kadang konyol. Ang Zen rasanya berhasil membuat ibu-ibu terharu ketika bercerita tentang pengalaman istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit di Melbourne. Saya juga sangat terkesan dengan kisahnya terdampar di Utrecht dengan hanya mengenakan kolor. Sungguh lucu dan haru.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangnnya saya rasa BDA bisa menjadi bacaan menarik dan cerdas, selain kaya. Selamat membaca! [***]
Judul Buku : Bintang di Atas Alhambra
Penulis : Ang Zen
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Genre : Novel petualangan
Penerbit : Bunyan, Kelompok Bentang Putaka
Terbit : November 2013
Halaman : x, 358
ISBN : ISBN 978-602-7888-86-9
Dirga Maulana
Penikmat Novel dan aktif di Forum Studi Media (FSM)
Tulisan ini telah dimuat di http://www.rmol.co/read/2014/02/21/144777/Menembus-Bintang-Alhambra-
Perspektif Komunikasi Politik
Membangun konsolidasi demokrasi menjadi poin utama untuk mewujudkan cita-cita demokrasi substansial. Walaupun, hingga kini masih banyak kekurangan yang dihadapi dalam tataran praksis seperti lemahnya penegakan hukum, aktor politik yang tidak memiliki kapasitas mumpuni, hingga khalayak politik yang semakin hari semakin apolitis.
Kehadiran buku Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi yang ditulis Deddy Mulyana menjadi penting hadir di tengah ”kegalauan” bangsa yang menginginkan pemimpin transformatif. Buku ini mencoba melihat komunikasi politik sebagai tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik serta pemanfaatan komunikasi sebagai tindakan politik aktor.
Dua hal yang sejatinya berklindan dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Deddy dalam bukunya menyebutkan, terjadi anomali politik yang dilakukan banyak aktor politik misalnya banyak kasus korupsi yang menerpa pejabat publik akibat menerapkan ”politik kuasa”, gemar keliling dunia dengan menggunakan uang rakyat atas dalih studi banding. Munculnya kekuatan politik dinasti yang secara turunmenurun mewariskan kekuasaan pada anak atau istrinya.
Politisi kader bisa dikalahkan oleh politisi wakil ”artis” yang menjadi pendatang baru untuk mendongkrak popularitas partai. Tidak hanya itu, anomali juga berlangsung dalam konteks kampanye politik dan pemilu. Kampanye dan pemilu politik di Indonesia terus diwarnai jual beli suara dan kekerasan. Dalam perjalanannya kajian komunikasi politik selalu menggunakan perspektif linier, biasanya pendekatan ini berorientasi pada efek dan pesan politik harus sampai ke khalayak politik.
Kemudian pendekatan ini juga memandang realitas komunikasi politik secara teratur, mudah diramalkan, dan ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Seperti adagium terkenal dari Harold Lasswell: who says what in which channel to whom with what effect. Warna baru dari buku ini pendekatannya yang lebih cair karena memosisikan komunikasi politik dalam konteks sosial di mana manusia hidup secara dinamis dan terus bertumbuh menjadi ”manusia politik”.
Penulis buku ini mencoba menggunakan perspektif interpretatif dan transaksional. Komunikasi politik dipahami sebagai pertukaran makna di antara dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan distribusi dan pengelolaan kekuasaan. Ada empat bab yang menjadi pembahasan dalam buku ini. Pertama, buku ini melihat ada anomali politik yang dilakukan aktor politik. Ini terkait masalah bahasa politik.
Sebagaimana diketahui, bahasa politik kerap digunakan sebagai alat untuk berpihak dan karenanya penggunaan bahasa sarat dengan kepentingan dan tak pernah netral. Misalnya penggunaan bahasa di media massa baik cetak maupun elektronik yang kini sudah menjadi bagian pemenangan kekuatan tertentu. Kedua, membahas komunikasi legislatif, yang merupakan salah satu representasi kekuasaan suprastruktur yang semestinya mampu berdialog dengan rakyat.
Dialog merupakan inti komunikasi manusia karena dialog merupakan hubungan antara manusia dan manusia. Dengan kata lain, legislatif harus mampu berdialog dengan rakyat untuk menciptakan kesadaran bersama tentang hak politik warga. Ketika legislatif berdialog dengan warga, mereka tidak lagi dijadikan sebagai ”konstituen pasif”, tapi ”konstituen aktif”. Ketiga, komunikasi eksekutif membahas masalah minimnya pemimpin Indonesia yang komunikatif.
Sesungguhnya seorang pemimpin, apalagi seorang presiden, haruslah mampu membangun sistem komunikasi dengan rakyatnya. Kita tentu ingat, bagaimana seorang presiden menanggapi kerbau ”SiBuYa” ketika dibawa oleh demonstran untuk menuntut ketegasan SBY selaku presiden dalam menangani kasus-kasus bangsa. SBY pun terjebak menanggapi soal kerbau ”SiBuYa” itu daripada persoalan bangsa.
Komunikasi SBY pun dinilai sangat tidak strategis karena tidak mampu memisahkan antara isu publik dan isu privat. Keempat, pelajaran dari luar negeri. Ketika kita berbicara demokrasi pasti kita berkiblat ke Amerika. Kita menggambarkan demokrasi Amerika sebagai negara demokratis yang representatif. Kita merujuk, bahkan kita mengidealkan demokrasi itu seperti Amerika.
Buku ini mengambil contoh pertarungan antara Obama dan Hillary Clinton yang mana Obama selalu menang berturut-turut dalam pemilihan Partai Demokrat. Kekalahan Hillary juga disebabkan oleh faktor bahwa dia seorang perempuan. Dalam sejarah politik Amerika belum pernah ada presiden AS yang berjenis kelamin perempuan. Berbeda dengan Indonesia, kita pernah memiliki presiden perempuan yakni Megawati Soekarnoputri.
Di AS masih saja mempermasalahkan keterpilihan perempuan untuk menjadi pemimpin rakyatnya. Budaya ”partiarki” pun masih kental di AS. Jelas bahwa perjalanan demokrasi kita masih panjang untuk menjadi negara seperti AS. Dengan buku ini, kita terbantu memahami kompleksitas-dinamis komunikasi politik di Indonesia.
Buku ini menjadi artefak penting dalam ranah kajian komunikasi politik. Tawaran perspektif interpretatifnya menjadikan buku ini menarik dan ”renyah” saat dibaca serta didalami baik oleh akademisi, praktisi politik, jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama bagi mereka yang tertarik mengamati ranah kajian komunikasi politik yang senantiasa dinamis._
Dirga Maulana, peneliti di The Political Literacy Institute dan
aktif di Forum Studi Media (FSM)
Dimuat di Koran SINDO, Minggu 10 November 2013
Kehadiran buku Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi yang ditulis Deddy Mulyana menjadi penting hadir di tengah ”kegalauan” bangsa yang menginginkan pemimpin transformatif. Buku ini mencoba melihat komunikasi politik sebagai tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik serta pemanfaatan komunikasi sebagai tindakan politik aktor.
Dua hal yang sejatinya berklindan dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Deddy dalam bukunya menyebutkan, terjadi anomali politik yang dilakukan banyak aktor politik misalnya banyak kasus korupsi yang menerpa pejabat publik akibat menerapkan ”politik kuasa”, gemar keliling dunia dengan menggunakan uang rakyat atas dalih studi banding. Munculnya kekuatan politik dinasti yang secara turunmenurun mewariskan kekuasaan pada anak atau istrinya.
Politisi kader bisa dikalahkan oleh politisi wakil ”artis” yang menjadi pendatang baru untuk mendongkrak popularitas partai. Tidak hanya itu, anomali juga berlangsung dalam konteks kampanye politik dan pemilu. Kampanye dan pemilu politik di Indonesia terus diwarnai jual beli suara dan kekerasan. Dalam perjalanannya kajian komunikasi politik selalu menggunakan perspektif linier, biasanya pendekatan ini berorientasi pada efek dan pesan politik harus sampai ke khalayak politik.
Kemudian pendekatan ini juga memandang realitas komunikasi politik secara teratur, mudah diramalkan, dan ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Seperti adagium terkenal dari Harold Lasswell: who says what in which channel to whom with what effect. Warna baru dari buku ini pendekatannya yang lebih cair karena memosisikan komunikasi politik dalam konteks sosial di mana manusia hidup secara dinamis dan terus bertumbuh menjadi ”manusia politik”.
Penulis buku ini mencoba menggunakan perspektif interpretatif dan transaksional. Komunikasi politik dipahami sebagai pertukaran makna di antara dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan distribusi dan pengelolaan kekuasaan. Ada empat bab yang menjadi pembahasan dalam buku ini. Pertama, buku ini melihat ada anomali politik yang dilakukan aktor politik. Ini terkait masalah bahasa politik.
Sebagaimana diketahui, bahasa politik kerap digunakan sebagai alat untuk berpihak dan karenanya penggunaan bahasa sarat dengan kepentingan dan tak pernah netral. Misalnya penggunaan bahasa di media massa baik cetak maupun elektronik yang kini sudah menjadi bagian pemenangan kekuatan tertentu. Kedua, membahas komunikasi legislatif, yang merupakan salah satu representasi kekuasaan suprastruktur yang semestinya mampu berdialog dengan rakyat.
Dialog merupakan inti komunikasi manusia karena dialog merupakan hubungan antara manusia dan manusia. Dengan kata lain, legislatif harus mampu berdialog dengan rakyat untuk menciptakan kesadaran bersama tentang hak politik warga. Ketika legislatif berdialog dengan warga, mereka tidak lagi dijadikan sebagai ”konstituen pasif”, tapi ”konstituen aktif”. Ketiga, komunikasi eksekutif membahas masalah minimnya pemimpin Indonesia yang komunikatif.
Sesungguhnya seorang pemimpin, apalagi seorang presiden, haruslah mampu membangun sistem komunikasi dengan rakyatnya. Kita tentu ingat, bagaimana seorang presiden menanggapi kerbau ”SiBuYa” ketika dibawa oleh demonstran untuk menuntut ketegasan SBY selaku presiden dalam menangani kasus-kasus bangsa. SBY pun terjebak menanggapi soal kerbau ”SiBuYa” itu daripada persoalan bangsa.
Komunikasi SBY pun dinilai sangat tidak strategis karena tidak mampu memisahkan antara isu publik dan isu privat. Keempat, pelajaran dari luar negeri. Ketika kita berbicara demokrasi pasti kita berkiblat ke Amerika. Kita menggambarkan demokrasi Amerika sebagai negara demokratis yang representatif. Kita merujuk, bahkan kita mengidealkan demokrasi itu seperti Amerika.
Buku ini mengambil contoh pertarungan antara Obama dan Hillary Clinton yang mana Obama selalu menang berturut-turut dalam pemilihan Partai Demokrat. Kekalahan Hillary juga disebabkan oleh faktor bahwa dia seorang perempuan. Dalam sejarah politik Amerika belum pernah ada presiden AS yang berjenis kelamin perempuan. Berbeda dengan Indonesia, kita pernah memiliki presiden perempuan yakni Megawati Soekarnoputri.
Di AS masih saja mempermasalahkan keterpilihan perempuan untuk menjadi pemimpin rakyatnya. Budaya ”partiarki” pun masih kental di AS. Jelas bahwa perjalanan demokrasi kita masih panjang untuk menjadi negara seperti AS. Dengan buku ini, kita terbantu memahami kompleksitas-dinamis komunikasi politik di Indonesia.
Buku ini menjadi artefak penting dalam ranah kajian komunikasi politik. Tawaran perspektif interpretatifnya menjadikan buku ini menarik dan ”renyah” saat dibaca serta didalami baik oleh akademisi, praktisi politik, jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama bagi mereka yang tertarik mengamati ranah kajian komunikasi politik yang senantiasa dinamis._
Dirga Maulana, peneliti di The Political Literacy Institute dan
aktif di Forum Studi Media (FSM)
Dimuat di Koran SINDO, Minggu 10 November 2013
"Subyek Radikal" Jokowi?
Fenomena Jokowi di tanah air patut kita berikan perhatian lebih. Sejak terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi banyak melakukan gebrakan secara fundamental. Mantan Wali Kota Solo ini mendapat banyak pujian, karena typikal orang yang mampu mendobrak suatu hal menjadi nyata. Komunikasinya pun minim, namun banyak aksi yang dilakukan. Misalnya, “blusukan” menjadi cara efektif seorang pemimpin berkomunikasi dengan rakyatnya. Ketika itu juga trend “blusukan” menjadi icon yang ditanamkan pada sosok Jokowi.
Tak heran jika Jokowi selama ini menjadi “media darling” yang diincar bahkan dibuntuti oleh banyak media massa di Indonesia. Belakangan ini sosok Jokowi banyak menyedot perhatian publik. Dari banyak survei yang dilakukan, elektabilitas Jokowi melambung tinggi di langit Indonesia. Elektabilitas Jokowi selalu di atas 20 persen.
Walhasil, “mendadak Jokowi” merebak semakin cepat. Anggapan bahwa Jokowi pantas ikut kontestasi dalam bursa Capres di tahun 2014, petanda bahwa ia punya gaya berbeda dengan pemimpin lain. Tak ayal jika Jokowi banyak “dielu-elukan” oleh rakyat juga para politisi senior yang berniat menjadi Capres untuk mendulang suara di 2014. Rebutan itu tentunya, bertujuan untuk meminang Jokowi sebagai Cawapres atau pun menempatkannya sebagai Capres. Pencalonan Jokowi sebagai Capres maupun Cawapres masih merupakan misteri yang belum terungkap.
Rakernas PDIP pada 6-8 September kemarin enggan memberikan satu nama untuk pencalonan Capres dari PDIP. Walaupun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri sudah memberikan sinyal pada sosok Jokowi untuk meneruskan estafet kepemimpinannya di tahun 2014 sebagai Capres dari PDIP. Tentu hal ini, menjadi ketertarikan penulis melihat sosok Jokowi yang mengesankan pada kesantunan politik, melakukan gaya komunikasinya dengan “blusukan” dan program-program yang direncanakan menurutnya harus mengambil keputusan radikal.
Dengan demikian, Pertanyaan yang muncul adalah apakah Jokowi merupakan sosok “subyek radikal” yang mampu mengelola harapan publik di tahun 2014?
Manusia Politik
Dalam buku manusia politik yang ditulis Robertus Robert (2010), menekankan hadirnya manusia politik untuk mentransformasi kehidupan politik ke arah emansipatoris warga akan hak politiknya. Kemudian juga diuangkapkan oleh Zizek bahwa manusia politik harus diartikan sebagai gerak subyek yang istimewa untuk mengintervensi “ruang ketakmungkinan”. Maksudnya, “ruang ketakmungkinan” merupakan hidup nyata yang di dalamnya terdapat kompleksitas serta resiko. Maka dengan itu, gerak subyek istimewa itu harus diejawantahkan dalam “kegilaan radikal” untuk mengubah struktur secara militan.
Sosok Jokowi mampu mengintervensi “ruang ketakmungkinan” dengan gaya blusukan sebagai cara berkomunikasi dengan rakyat. Dan kalo kita lihat Jokowi sebagai “gerak subyek istimewa” menurut hemat penulis tentu benar adanya, karena ia mampu menciptakan sesuatu yang tidak bisa diciptakan oleh pemimpin lain. Di saat pemimpin lain melakukan pencitraan politik dalam melakukan kinerja, lain hal dengan Jokowi, ia mampu menaikkan citra politiknya secara natural dengan aksi yang dilakukan.
Tak dimungkiri bahwa prestasi elektoral Jokowi yang sejauh ini melambung tinggi di antara kandidat Presiden lain disebabkan oleh kepribadian dan gaya politik yang dibawa Jokowi. Kejujuran adalah atribut yang paling sering dilekatkan pada Jokowi. Umumnya kejujuran diartikan sebagai konsistensi antara omongan dan tindakan. Kejujuran ini merupakan kepolosan dari tingkah Jokowi.
Gaya kepemimpinan Jokowi dalam pentas politik nasional seolah menandai awal kedatangan politik populis di Indonesia. Namun gaya Jokowi sesunguhnya berbeda jauh dengan gaya politikus populis sejawatnya dibelahan dunia lain. Retorika yang dikembangkan Jokowi sangatlah santun. Tidak membelah masyarakat politik Indonesia dalam pengkubuan “kita” dan “mereka”.
Tentu Jokowi sangat paham menjadi elit politik di Indonesia, yang kini telah menjadi sorotan publik sebagai manusia yang mampu membawa perubahan fundamental di kalangan masyarakat. Kebijakannya yang pro rakyat seperti, program Kartu Sehat dan Kartu Pintar mengasosiasikan Jokowi pada populisme. Hal ini mengindikasikan bahwa Jokowi lebih menekankan pada “tindakan” bukan hanya sekedar retorika belaka.
Manusia Tindakan
Manusia politik mampu keluar dari belenggu kehidupan naturalistiknya. Dengan keluar dari naturalistik itu, manusia politik kemudian dikondisikan untuk bertindak secara otentik, spontan dan otonom. Manusia politik tidak lain adalah manusia tindakan (man of action) dengan merujuk pada individu-individu yang unik, independen dan mampu berjarak terhadap yang lain, serta bersikap kritis terhadap sistem sekaligus mampu berempati kepada keadaan orang lain.
Gaya blusukan Jokowi telah mampu menghipnotis publik, blusukan bagi Jokowi adalah momentum sakral yang mempertemukan rakyat dengan pemimpinnya tanpa perantara. Tujuannya adalah untuk mengambil keputusan di lapangan dengan tepat.
Tindakan atau (action) meminjam istilah Hannah Arendt merupakan aktivitas yang terjadi secara langsung antar manusia tanpa perantaraan alam atau benda-benda, serta berkorespondensi dengan pluralitas manusia. Tindakan didasarkan pada fakta bahwa manusia bersama-sama hidup di dunia dan menghuni bumi. Maka dengan itu, segala aspek kehidupan manusia harus didasarkan kepada fakta pluralitas.
Pluralitas adalah conditio sine qua non atau prasyarat dalam kehidupan politik. Dalam hal ini, Jokowi mampu berada di tengah-tengah masyarakat miskin untuk melihat masyarakat Jakarta lebih dekat. Seperti terminologi Romawi yang seringkali Arendt gunakan, ia mencatat bahwa hidup harus selalu berarti “berada di tengah-tengah orang” (inter homines esse).
Jokowi sangat menyadari ketika ia “keluar dari domain kehidupan bersama” (inter homines esse desinere) itu sama artinya ia mati dengan kematian ekstensialnya sebagai manusia. Maka dari itu, tindakan Jokowi menegaskan eksistensi manusia politik, mengarah pada aspek keabadian dan ingatan yang menyejarah. Tindakan juga berakar pada “natalitas” sejauh dimaksudkan untuk mempersiapkan dunia bagi arus konstan lahirnya generasi baru ke dunia.
Dalam The Human Condition (1959), Arendt menekankan keutamaan tindakan dibandingkan kerja dan karya. Arendt meilhat adanya independensi lingkup kehidupan aktif (vita activa) terhadap lingkup pasif-kontemplatif (vita contemplativa).
Jika “vita activa” adalah merujuk pada aktivitas manusia di ruang publik, sedangkan “vita contemplativa” merujuk pada hidup kontemplatif para filsuf atau pemikir yang soliter, berada di luar penampakan bersama. Jokowi bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang gubernur yang harus hadir dan tampak di ruang publik. Kehadiran Jokowi di tengah-tengah masyarakat tentu merupakan manfaat yang bakal banyak dirasakan oleh rakyat. Terutama rakyat miskin.
Dengan demikian “vita activa” harus didasarkan pada kebaruan yang mempunyai momentum. Karena setiap manusia yang lahir mempunyai kapasitas sesuatu yang baru. Jokowi adalah pemimpin yang baru lahir, semua tindakan dan natalitasnya bersifat inheren dalam semua aktivitas manusia. Lebih dari itu, tindakan adalah aktivitas politik “par excellence”, maka natalitas adalah kategori sentral dalam politik.
Kita berharap pada Jokowi, ia mampu menjadi “subyek radikal” yang bisa mengintervensi “ruang ketakmungkinan” menjadi “mungkin” dengan gaya kepemimpinan populis. Di tengah kecemasan dan pesimisme masyarakat, Jokowi harus memunculkan sebuah gebrakan optimistik, yakni “poltik radikal masih mungkin”.
Tulisan ini telah dimuat di media online Jakarta Fokus
Hari Minggu 22 September 2013
Tak heran jika Jokowi selama ini menjadi “media darling” yang diincar bahkan dibuntuti oleh banyak media massa di Indonesia. Belakangan ini sosok Jokowi banyak menyedot perhatian publik. Dari banyak survei yang dilakukan, elektabilitas Jokowi melambung tinggi di langit Indonesia. Elektabilitas Jokowi selalu di atas 20 persen.
Walhasil, “mendadak Jokowi” merebak semakin cepat. Anggapan bahwa Jokowi pantas ikut kontestasi dalam bursa Capres di tahun 2014, petanda bahwa ia punya gaya berbeda dengan pemimpin lain. Tak ayal jika Jokowi banyak “dielu-elukan” oleh rakyat juga para politisi senior yang berniat menjadi Capres untuk mendulang suara di 2014. Rebutan itu tentunya, bertujuan untuk meminang Jokowi sebagai Cawapres atau pun menempatkannya sebagai Capres. Pencalonan Jokowi sebagai Capres maupun Cawapres masih merupakan misteri yang belum terungkap.
Rakernas PDIP pada 6-8 September kemarin enggan memberikan satu nama untuk pencalonan Capres dari PDIP. Walaupun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri sudah memberikan sinyal pada sosok Jokowi untuk meneruskan estafet kepemimpinannya di tahun 2014 sebagai Capres dari PDIP. Tentu hal ini, menjadi ketertarikan penulis melihat sosok Jokowi yang mengesankan pada kesantunan politik, melakukan gaya komunikasinya dengan “blusukan” dan program-program yang direncanakan menurutnya harus mengambil keputusan radikal.
Dengan demikian, Pertanyaan yang muncul adalah apakah Jokowi merupakan sosok “subyek radikal” yang mampu mengelola harapan publik di tahun 2014?
Manusia Politik
Dalam buku manusia politik yang ditulis Robertus Robert (2010), menekankan hadirnya manusia politik untuk mentransformasi kehidupan politik ke arah emansipatoris warga akan hak politiknya. Kemudian juga diuangkapkan oleh Zizek bahwa manusia politik harus diartikan sebagai gerak subyek yang istimewa untuk mengintervensi “ruang ketakmungkinan”. Maksudnya, “ruang ketakmungkinan” merupakan hidup nyata yang di dalamnya terdapat kompleksitas serta resiko. Maka dengan itu, gerak subyek istimewa itu harus diejawantahkan dalam “kegilaan radikal” untuk mengubah struktur secara militan.
Sosok Jokowi mampu mengintervensi “ruang ketakmungkinan” dengan gaya blusukan sebagai cara berkomunikasi dengan rakyat. Dan kalo kita lihat Jokowi sebagai “gerak subyek istimewa” menurut hemat penulis tentu benar adanya, karena ia mampu menciptakan sesuatu yang tidak bisa diciptakan oleh pemimpin lain. Di saat pemimpin lain melakukan pencitraan politik dalam melakukan kinerja, lain hal dengan Jokowi, ia mampu menaikkan citra politiknya secara natural dengan aksi yang dilakukan.
Tak dimungkiri bahwa prestasi elektoral Jokowi yang sejauh ini melambung tinggi di antara kandidat Presiden lain disebabkan oleh kepribadian dan gaya politik yang dibawa Jokowi. Kejujuran adalah atribut yang paling sering dilekatkan pada Jokowi. Umumnya kejujuran diartikan sebagai konsistensi antara omongan dan tindakan. Kejujuran ini merupakan kepolosan dari tingkah Jokowi.
Gaya kepemimpinan Jokowi dalam pentas politik nasional seolah menandai awal kedatangan politik populis di Indonesia. Namun gaya Jokowi sesunguhnya berbeda jauh dengan gaya politikus populis sejawatnya dibelahan dunia lain. Retorika yang dikembangkan Jokowi sangatlah santun. Tidak membelah masyarakat politik Indonesia dalam pengkubuan “kita” dan “mereka”.
Tentu Jokowi sangat paham menjadi elit politik di Indonesia, yang kini telah menjadi sorotan publik sebagai manusia yang mampu membawa perubahan fundamental di kalangan masyarakat. Kebijakannya yang pro rakyat seperti, program Kartu Sehat dan Kartu Pintar mengasosiasikan Jokowi pada populisme. Hal ini mengindikasikan bahwa Jokowi lebih menekankan pada “tindakan” bukan hanya sekedar retorika belaka.
Manusia Tindakan
Manusia politik mampu keluar dari belenggu kehidupan naturalistiknya. Dengan keluar dari naturalistik itu, manusia politik kemudian dikondisikan untuk bertindak secara otentik, spontan dan otonom. Manusia politik tidak lain adalah manusia tindakan (man of action) dengan merujuk pada individu-individu yang unik, independen dan mampu berjarak terhadap yang lain, serta bersikap kritis terhadap sistem sekaligus mampu berempati kepada keadaan orang lain.
Gaya blusukan Jokowi telah mampu menghipnotis publik, blusukan bagi Jokowi adalah momentum sakral yang mempertemukan rakyat dengan pemimpinnya tanpa perantara. Tujuannya adalah untuk mengambil keputusan di lapangan dengan tepat.
Tindakan atau (action) meminjam istilah Hannah Arendt merupakan aktivitas yang terjadi secara langsung antar manusia tanpa perantaraan alam atau benda-benda, serta berkorespondensi dengan pluralitas manusia. Tindakan didasarkan pada fakta bahwa manusia bersama-sama hidup di dunia dan menghuni bumi. Maka dengan itu, segala aspek kehidupan manusia harus didasarkan kepada fakta pluralitas.
Pluralitas adalah conditio sine qua non atau prasyarat dalam kehidupan politik. Dalam hal ini, Jokowi mampu berada di tengah-tengah masyarakat miskin untuk melihat masyarakat Jakarta lebih dekat. Seperti terminologi Romawi yang seringkali Arendt gunakan, ia mencatat bahwa hidup harus selalu berarti “berada di tengah-tengah orang” (inter homines esse).
Jokowi sangat menyadari ketika ia “keluar dari domain kehidupan bersama” (inter homines esse desinere) itu sama artinya ia mati dengan kematian ekstensialnya sebagai manusia. Maka dari itu, tindakan Jokowi menegaskan eksistensi manusia politik, mengarah pada aspek keabadian dan ingatan yang menyejarah. Tindakan juga berakar pada “natalitas” sejauh dimaksudkan untuk mempersiapkan dunia bagi arus konstan lahirnya generasi baru ke dunia.
Dalam The Human Condition (1959), Arendt menekankan keutamaan tindakan dibandingkan kerja dan karya. Arendt meilhat adanya independensi lingkup kehidupan aktif (vita activa) terhadap lingkup pasif-kontemplatif (vita contemplativa).
Jika “vita activa” adalah merujuk pada aktivitas manusia di ruang publik, sedangkan “vita contemplativa” merujuk pada hidup kontemplatif para filsuf atau pemikir yang soliter, berada di luar penampakan bersama. Jokowi bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang gubernur yang harus hadir dan tampak di ruang publik. Kehadiran Jokowi di tengah-tengah masyarakat tentu merupakan manfaat yang bakal banyak dirasakan oleh rakyat. Terutama rakyat miskin.
Dengan demikian “vita activa” harus didasarkan pada kebaruan yang mempunyai momentum. Karena setiap manusia yang lahir mempunyai kapasitas sesuatu yang baru. Jokowi adalah pemimpin yang baru lahir, semua tindakan dan natalitasnya bersifat inheren dalam semua aktivitas manusia. Lebih dari itu, tindakan adalah aktivitas politik “par excellence”, maka natalitas adalah kategori sentral dalam politik.
Kita berharap pada Jokowi, ia mampu menjadi “subyek radikal” yang bisa mengintervensi “ruang ketakmungkinan” menjadi “mungkin” dengan gaya kepemimpinan populis. Di tengah kecemasan dan pesimisme masyarakat, Jokowi harus memunculkan sebuah gebrakan optimistik, yakni “poltik radikal masih mungkin”.
Tulisan ini telah dimuat di media online Jakarta Fokus
Hari Minggu 22 September 2013
Peradaban Baru Komunikasi Politik
Jelang perhelatan Pemilu 2014 menjadi tahun politik yang sarat dengan praktik komunikasi politik, mulai dari pemasaran politik hingga lobi dan negosiasi.
Hal ini kian meneguhkan penguasaan komunikasi politik menjadi keniscayaan dalam praktik politik modern, terlebih di tengah pasar pemilih demokrasi elektoral seperti sekarang. Komunikasi politik tak sekadar kajian teoritis dan konseptual, tapi sudah menjadi ilmu terapan dalam ranah komunikasi yang selalu dinamis.
Hadirnya komunikasi politik sebagai disiplin ilmu interdisipliner memosisikan kajian ini menjadi sangat perlu dipahami sekaligus strategis untuk dikuasai dan diimplementasikan. Buku ini secara rinci membahas beragam materi inti dalam komunikasi politik mulai dari definisi, komunikator dan khalayak politik, kampanye, opini publik, propaganda, publisitas, retorika, negosiasi, public relations politik, dan riset politik.
Selain itu, juga secara memadai mengulas komunikasi politik dalam dinamika politik di Indonesia dan tren pemanfaatan komunikasi politik melalui media baru. Gun Gun dan Shulhan menggarisbawahi bahwa perjalanan komunikasi politik sudah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama, ditandai dengan dominannya retorika sebagai aktivitas komunikasi politik.
Pada generasi pertama ini aktor politik mengandalkan kemampuan seni berbicara (art of speech) misalnya debat publik untuk memengaruhi kebijakan hingga kritik terhadap sistem yang disampaikan melalui kekuatan berbicara. Generasi kedua, dijadikannya media massa sebagai saluran politik. Media massa seperti radio, televisi, koran, majalah, dan sebagainya kerapkali digunakan untuk kampanye, propaganda politik, publicrelationspolitik, dan lain-lain.
Aktivitas itu disebarkan kepada khalayak melalui media massayangbersifat serentakatau one-to-many. Generasi ketiga, ditandai dengan perkembangan new media. Halinidiperkuatdengansemakin banyaknya media sosial seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif dalam jalinan komunikasi antarwarga. Hadir-nya ruangpublikbaru(new public sphere) dengan menciptakan komunitas-komunitas virtual dalam kehidupan modern sudah tak terbantahkan lagi.
Ramainya penggunaan internet melahirkan peradaban baru komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyberdemocracy, cyberprotest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan partisipasi politik. Contoh kasus kontemporer adalah Wikileaks dengan gerakan hachtivism yang digagas Julian Assange. Gerakan ini menjadi fenomena komunikasi politik yang tak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik.
Sesuai dengan cermatan Blumler dan Kavanagh (1999), tentang kemunculan “third age of political communication”, media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Hadirnya media baru menjadi dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik.
Pengguna internet (netizens) semakin signifikan dalam politik. Tipologi netizen seperti publicist, hactivist, propagandist, disseminator pun menjadi warna baru yang membuat kanal media baru kian menghadirkan komunikasi politik yang mudah dan interaktif. Memang, penggunaan internet dalam komunikasi politik semakin intensif dan meluas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari lingkungan dinamis yang terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia.
Dalam data yang ditulis di buku ini tercatat pengguna internet di Asia sebanyak 922.329.554, sekitar 44% pengguna internet ada di Asia, sementara 56% tersebar di kawasan lain seperti di Afrika ada 118.609.620 pengguna (5,7%), di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7%), di Timur Tengah ada 68.553.666 pengguna (3,3%), di Amerika Utara ada 272.006.000 pengguna (13%), di Amerika Latin ada 215.939.400 pengguna (10,3%), dan Oceania/Australia ada 21.293.830 pengguna (1%).
Jelas bahwa pengguna internet terbesar ada di Asia. Tercatat di data internetworldstat. com pada 2012 ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Banyaknya aktor politik yang juga memiliki akun di Facebook, Twitter, dan sejumlah sosial media lain me-nandakan fenomena pencitraan itu tidak bisa dihindari dalam laju perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, hadirnya teknologi seharusnya bisa turut memperbaiki kualitas komunikasipolitikdalamdemokrasikita.
Buku ini menarik untuk dibaca dan didalami baik oleh akademisi, praktisi politik, jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama untuk mereka yang memerlukan “kunci pembuka” yang akan mengantarkan pembaca pada ranah kajian komunikasi politik yang dinamis. _
Dirga Maulana
Peneliti The Political Literacy Institute,
aktif di Forum Studi Media (FSM)
Tulisan ini Telah dimuat di Koran SINDO Minggu, 28 Juli 2013
Hal ini kian meneguhkan penguasaan komunikasi politik menjadi keniscayaan dalam praktik politik modern, terlebih di tengah pasar pemilih demokrasi elektoral seperti sekarang. Komunikasi politik tak sekadar kajian teoritis dan konseptual, tapi sudah menjadi ilmu terapan dalam ranah komunikasi yang selalu dinamis.
Hadirnya komunikasi politik sebagai disiplin ilmu interdisipliner memosisikan kajian ini menjadi sangat perlu dipahami sekaligus strategis untuk dikuasai dan diimplementasikan. Buku ini secara rinci membahas beragam materi inti dalam komunikasi politik mulai dari definisi, komunikator dan khalayak politik, kampanye, opini publik, propaganda, publisitas, retorika, negosiasi, public relations politik, dan riset politik.
Selain itu, juga secara memadai mengulas komunikasi politik dalam dinamika politik di Indonesia dan tren pemanfaatan komunikasi politik melalui media baru. Gun Gun dan Shulhan menggarisbawahi bahwa perjalanan komunikasi politik sudah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama, ditandai dengan dominannya retorika sebagai aktivitas komunikasi politik.
Pada generasi pertama ini aktor politik mengandalkan kemampuan seni berbicara (art of speech) misalnya debat publik untuk memengaruhi kebijakan hingga kritik terhadap sistem yang disampaikan melalui kekuatan berbicara. Generasi kedua, dijadikannya media massa sebagai saluran politik. Media massa seperti radio, televisi, koran, majalah, dan sebagainya kerapkali digunakan untuk kampanye, propaganda politik, publicrelationspolitik, dan lain-lain.
Aktivitas itu disebarkan kepada khalayak melalui media massayangbersifat serentakatau one-to-many. Generasi ketiga, ditandai dengan perkembangan new media. Halinidiperkuatdengansemakin banyaknya media sosial seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif dalam jalinan komunikasi antarwarga. Hadir-nya ruangpublikbaru(new public sphere) dengan menciptakan komunitas-komunitas virtual dalam kehidupan modern sudah tak terbantahkan lagi.
Ramainya penggunaan internet melahirkan peradaban baru komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyberdemocracy, cyberprotest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan partisipasi politik. Contoh kasus kontemporer adalah Wikileaks dengan gerakan hachtivism yang digagas Julian Assange. Gerakan ini menjadi fenomena komunikasi politik yang tak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik.
Sesuai dengan cermatan Blumler dan Kavanagh (1999), tentang kemunculan “third age of political communication”, media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Hadirnya media baru menjadi dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik.
Pengguna internet (netizens) semakin signifikan dalam politik. Tipologi netizen seperti publicist, hactivist, propagandist, disseminator pun menjadi warna baru yang membuat kanal media baru kian menghadirkan komunikasi politik yang mudah dan interaktif. Memang, penggunaan internet dalam komunikasi politik semakin intensif dan meluas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari lingkungan dinamis yang terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia.
Dalam data yang ditulis di buku ini tercatat pengguna internet di Asia sebanyak 922.329.554, sekitar 44% pengguna internet ada di Asia, sementara 56% tersebar di kawasan lain seperti di Afrika ada 118.609.620 pengguna (5,7%), di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7%), di Timur Tengah ada 68.553.666 pengguna (3,3%), di Amerika Utara ada 272.006.000 pengguna (13%), di Amerika Latin ada 215.939.400 pengguna (10,3%), dan Oceania/Australia ada 21.293.830 pengguna (1%).
Jelas bahwa pengguna internet terbesar ada di Asia. Tercatat di data internetworldstat. com pada 2012 ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Banyaknya aktor politik yang juga memiliki akun di Facebook, Twitter, dan sejumlah sosial media lain me-nandakan fenomena pencitraan itu tidak bisa dihindari dalam laju perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, hadirnya teknologi seharusnya bisa turut memperbaiki kualitas komunikasipolitikdalamdemokrasikita.
Buku ini menarik untuk dibaca dan didalami baik oleh akademisi, praktisi politik, jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama untuk mereka yang memerlukan “kunci pembuka” yang akan mengantarkan pembaca pada ranah kajian komunikasi politik yang dinamis. _
Dirga Maulana
Peneliti The Political Literacy Institute,
aktif di Forum Studi Media (FSM)
Tulisan ini Telah dimuat di Koran SINDO Minggu, 28 Juli 2013
Menelaah Pemikiran Jurgen Habermas dalam Konteks Komunikasi
Oleh Dirga Maulana
Key Word: Tindakan Komunikatif, Etika Wacana, Klaim Validitas, Public Sphere, Demokrasi Deliberatif.
Jurgen Habermas lahir di Dusseldorf, German, tahun 1929. Dicatat dalam sejarah bahwa pada 1930-an dan 1940-an keluarga Habermas pro-Nazi. Menjelang akhir Perang Dunia Kedua, Habermas bergabung dengan organisasi Pemuda Hitler. Kekejaman Hitler terhadap orang-orang Yahudi menyadarkan Habermas tentang kebrutalan yang terlembagakan. Ia pun memulai karirnya dengan bergelut dan bergabung bersama Institut Penelitian Sosial di Frankfrut pada tahun 1956 di bawah bimbingan Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Di sinilah Habermas memulai dialog panjang dengan Kant, Hegel, Marx, dan Weber. Yang kemudian mempromosikan demokrasi secara radikal.
Demokrasi radikal dalam pandangan Habermas adalah proses demokrasi yang inklusif, partisipatif, informatif, dan deliberatif. Dengan cara ini, perhatian Habermas pada demokrasi dan apa yang dia sebut sebagai emancipatory knowledge (pengetahuan yang membebaskan).
Adapun karya-karya hasil pemikiran kritis Jurgen Habermas melahirkan banyak karya, antara lain The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Knowledge and Human Interest (1971), Legitimation Crisis (1975), dua-volume The Theory of Communicative Action (1984 dan 1987), Between Facts and Norms (1996).
Habermas membagi dua tindakan manusia yang pertama, tindakan strategis adalah tindakan yang ingin dilakukan manusia untuk memengaruhi pihak lain dengan ancaman sanksi atau prospek menyenangkan. Kedua, tindakan komunikatif berorientasi untuk mencapai pemahaman. Maksudnya adalah manusia merupakan human communication yang menekankan pada konteks bahasa yang memberikan pemahaman pada orang lain untuk mencapai “klaim validitas”.
Kemudian Habermas membayangkan situasi pembicaraan (speech situation) ideal yang ditandai dengan partisipasi yang bebas untuk mendengarkan argumentasi dan menyampaikan pemikiran mereka tanpa rasa takut dibatasi atau dikontrol. Habermas mengidealkan terdapatnya suatu dialog yang tidak mengandung kekerasan. Ini yang kemudian sering kita kenal sebagai public sphere (ruang publik).
Tentu, bagi Habermas pembicaraan yang ideal itu dibangun dalam kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan seorang pembicara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban validitas ucapan dalam tindakan komunikatif: comprehensibility (kelengkapan), truth (kebenaran), normative rightness (kebenaran normatif), dan truthfulness (bisa dipercaya).
Ada dua tujuan utama Habermas dalam karya tentang tindakan komunikatif dan etika wacana. Pertama, untuk menjelaskan bagaimana kesepakatan, hukum dan legitimasi intersubjektif benar-benar diturunkan oleh orang yang nyata dan bagaimana hukum mendapatkan legitimasinya. Kedua, untuk mengusulkan bagaimana keputusan akan menjadi lebih sah. Dengan begitu etika wacana merupakan tindakan komunikatif yang telah menjadi refleksif atau bisa menyadarkan diri.
Key Word: Tindakan Komunikatif, Etika Wacana, Klaim Validitas, Public Sphere, Demokrasi Deliberatif.
Jurgen Habermas lahir di Dusseldorf, German, tahun 1929. Dicatat dalam sejarah bahwa pada 1930-an dan 1940-an keluarga Habermas pro-Nazi. Menjelang akhir Perang Dunia Kedua, Habermas bergabung dengan organisasi Pemuda Hitler. Kekejaman Hitler terhadap orang-orang Yahudi menyadarkan Habermas tentang kebrutalan yang terlembagakan. Ia pun memulai karirnya dengan bergelut dan bergabung bersama Institut Penelitian Sosial di Frankfrut pada tahun 1956 di bawah bimbingan Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Di sinilah Habermas memulai dialog panjang dengan Kant, Hegel, Marx, dan Weber. Yang kemudian mempromosikan demokrasi secara radikal.
Demokrasi radikal dalam pandangan Habermas adalah proses demokrasi yang inklusif, partisipatif, informatif, dan deliberatif. Dengan cara ini, perhatian Habermas pada demokrasi dan apa yang dia sebut sebagai emancipatory knowledge (pengetahuan yang membebaskan).
Adapun karya-karya hasil pemikiran kritis Jurgen Habermas melahirkan banyak karya, antara lain The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Knowledge and Human Interest (1971), Legitimation Crisis (1975), dua-volume The Theory of Communicative Action (1984 dan 1987), Between Facts and Norms (1996).
Habermas membagi dua tindakan manusia yang pertama, tindakan strategis adalah tindakan yang ingin dilakukan manusia untuk memengaruhi pihak lain dengan ancaman sanksi atau prospek menyenangkan. Kedua, tindakan komunikatif berorientasi untuk mencapai pemahaman. Maksudnya adalah manusia merupakan human communication yang menekankan pada konteks bahasa yang memberikan pemahaman pada orang lain untuk mencapai “klaim validitas”.
Kemudian Habermas membayangkan situasi pembicaraan (speech situation) ideal yang ditandai dengan partisipasi yang bebas untuk mendengarkan argumentasi dan menyampaikan pemikiran mereka tanpa rasa takut dibatasi atau dikontrol. Habermas mengidealkan terdapatnya suatu dialog yang tidak mengandung kekerasan. Ini yang kemudian sering kita kenal sebagai public sphere (ruang publik).
Tentu, bagi Habermas pembicaraan yang ideal itu dibangun dalam kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi adalah kemampuan seorang pembicara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban validitas ucapan dalam tindakan komunikatif: comprehensibility (kelengkapan), truth (kebenaran), normative rightness (kebenaran normatif), dan truthfulness (bisa dipercaya).
Ada dua tujuan utama Habermas dalam karya tentang tindakan komunikatif dan etika wacana. Pertama, untuk menjelaskan bagaimana kesepakatan, hukum dan legitimasi intersubjektif benar-benar diturunkan oleh orang yang nyata dan bagaimana hukum mendapatkan legitimasinya. Kedua, untuk mengusulkan bagaimana keputusan akan menjadi lebih sah. Dengan begitu etika wacana merupakan tindakan komunikatif yang telah menjadi refleksif atau bisa menyadarkan diri.
Media dan Pertunjukan Politik
Oleh Dirga Maulana
Sejak praktik demokrasi prosedural Indonesia memasuki fase liberal, persoalan media dan Pemilu layak didiskusikan. Sebuah landskap masalah baru yang sering menonjol memberikan sejumlah topik terkait media yang sangat menarik. Sejak 1999, kita sudah melewati tiga kali pemilihan umum secara langsung. Hubungan media dan pemilu pun berubah-ubah. Dalam pemilu 1999 media sering sebagai penggalangan masyarakat untuk aktif dalam pemilu. Sejak itu pula isu politik dikomersilkan di dalam media massa dan menjadi salah satu corak penting modal komunikasi politik di era demokrasi liberal. Kita melihat tak ada perbedaan antara produk komersial dengan produk non komersial di mata media massa. Ibarat merk dagangan, seluruh kontestasi Pemilu berada dalam bingkai media bisnis.
Pemilu 2004 dan 2009 menjadi contoh penting dalam hal ini. Pemilu langsung 2004 merupakan kali pertama di mana seorang kandidat tak lebih dari sekedar “merk” di mata media massa. Jika iklan masyarakat tidak dibedakan dengan iklan kecap, pemilu 2004 dan 2009 tidak ada bedanya kandidat dengan pepsodent. Tak ubahnya iklan pepsodent harga penayangan iklan seorang kandidat sudah diatur oleh televisi dengan bergantung pada jam tanyang.
Pemilu merupakan ouput nyata semangat purba survival of the fittest dari para kandidat. Dalam praktiknya, menggunakan media massa sebagai alat komunikasi efektif dalam melancarkan serangan kampanyenya. Dari sini adu kekuatan dalam kepemilikan media; pembelian slot penanyangan; dan kompetisi kreatif untuk merayu publik, berkawan dengan kepentingan oportunis media massa untuk mempertebal kantong-kantong suara.
Dalam posisi itu pula, warga negara telah disublimasi menjadi konsumen yang tak berdaya. Dalam perspektif kepentingan media, publik tak lebih dari sekedar data kuantitatif yang diajukan kandidat sebagai daya tawar harga air time. Simbiosis mutualisme ini antara media massa dan politisi telah meminggirkan warga sekedar menjadi pemain pasif.
Media menjadi perpanjangan tangan kepentingan penguasa, bahasa politik bermakna ganda untuk tujuan penghalusan maupun untuk kepentingan memberdayakan warganegara. Keduanya adalah bagian dari politik hegemoni sebagai syarat untuk mengukuhkan kuasa penguasa. Tak ayal lagi, kuasa bahasa menjadi representasi penggunaan media massa.
Fenomena dalam era transisi saat ini, media memiliki ruang yang lebih besar. Tetapi dibalik itu semua, ada sisi keunikannya. Karena sistem politik Indonesia berada dalam pusaran globalisasi, eksistensi media tak luput dari apa yang ada dalam pendirian kaum hegemonian. Mereka menempatkan kebudayaan global yang bersifat tunggal sebagai watak kapitalisme yang monolitik (struktur modal kapitalistik), sehingga seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi symboliknya mengacu pada ekspresi dominan atas nama pasar, dan media tak berfungsi sebagai representasi maupun rekonstruksi realitas sosial politik, melainkan lebih dari itu.
Peran Politik Media
Asumsi dasarnya media adalah institusi dan aktor politik yang memiliki hak-hak. Media juga dapat memerankan berbagai lakon politik, di antaranya mendukung transisi demokrasi atau menjadi oposisi. Seperti disinyalir oleh Cook, para jurnalis telah berhasil mendorong masyarakat untuk tak melihat mereka sebagai aktor politik, sedangkan para pakar politik juga telah gagal mengenali media sebagai sebuah institusi politik (Cook, 1998:4).
Penulis meminjam data yang dikeluarkan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang meneliti berita-berita pemilu 2009, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden yang dimuat dan ditayangkan di 11 statiun televisi di Jakarta. Dalam penelitian tersebut yang paling banyak diberitakan media massa dalam rentang waktu 16 hingga 26 Juni 2009 menyebutkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pasangan SBY-Boediono sebanyak 669 berita, sedangkan pasangan calon Jusuf Kalla-Wiranto 463 berita, dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo sebanyak 431 berita.
Hal ini mengindikasikan bahwa media dapat memainkan peranan yang sangat besar khususnya pada babak politik dalam masa transisi, karena media dapat bertindak sebagai agen perubahan. Seperti yang diungkapkan Neuman bahwa kebebasan memegang peranan penting di Asia Tenggara, khususnya dalam proses liberalisasi politik yang berhubungan dengan munculnya pers yang lebih terbuka dan kritis.
Bukan rahasia umum bahwa dua media yang menjadi mainstream berita kini dipegang oleh dua politisi yang bersebrangan yakni Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie. Bisa saja kedua tokoh tersebut mempromosikan kepentingan politik mereka dalam melegitimasi berita atas hasrat politiknya itu. Di tengah kegamangan seperti ini, para pakar politik merasa nyaman dengan melihat kontribusi politik dari media, maka mereka kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah institusi politik. Dengan kata lain para jurnalis telah berhasil menyakinkan para akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik.
Nah dalam prakteknya, sebenarnya media massa bersifat polivalen, misalnya kolumnis dan jurnalis yang berbeda menerapkan agen politik yang berbeda, halaman depan yang memuat kritik mengindikasikan bahwa publikasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan pemegang kekuasaan tertentu, sedangkan bagian editorial menampakkan dukungan halus mereka. Inilah sifat polivalen media yang di satu sisi mempunyai kepemilikan dan kontrol publikasi di sisi lain sebagai agen perubahan.
Melihat kajian media di negara-negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan pemilik modal. Media digunakan sebagai alat propaganda pemilik modal atau menjadi alat untuk melestarikan idelogi pengusaha media yang berperan aktif dalam politik praktis. Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari kepemilikan media untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya.
Indikator ini sudah terjadi di Indonesia yang mana tvOne dan Metrotv selalu membaguskan para pemiliknya dan tidak pernah memberitakan sesuatu yang buruk padanya. Misalnya kasus Lapindo yang sampai saat ini tidak terkuak siapa yang harus bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, seakan padam di siram oleh isu-isu lain yang lebih memihak kepada pasar.
Media dan Demokratisasi
Media memiliki andil dalam proses demokrasi di Indonesia. karena media dapat kita pahami sebagai sebuah titik pertemuan dari banyak kekuatan yang berkonflik dalam masyarakat modern. Bagaimana media ikut andil dalam runtuhnya rezim Orde Baru pada saat Soeharto dan para kroninya runtuh pada Mei 1998. Hal ini disinyalir oleh Koike sebagai peranan “politis media” dalam gerakan reformasi 1998.
Dalam teorinya Downs yang ditulis di buku An Economic Theory of Democracy (1957) menyatakan bahwa dalam proses politik partai berkompetisi untuk memperebutkan dukungan pemilih rasional. Hanya saja Downs tak memasukkan Jurnalis sebagai agen penting dalam studi politik. Pelanjutnya, teorotikus bernama Zeller yang merumuskan peran jurnalis dalam sistem demokrasi. Secara khusus, Zeller berpendapat bahwa politisi yang tengah memperluas ruang gerak dan pengaruhnya untuk berkomunikasi dengan pemilih (voters), paling tidak dalam beberapa waktu berhubungan dengan para jurnalis. Posisi jurnalis adalah penghantar suara pemilih. Dalam konteks itulah posisi media menjadi sangat strategis dalam konstelasi politik sebuah negara.
*Penulis adalah Peneliti di Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) UIN Jakarta
Pernah dimuat di Koran Jurnal Nasional Jum'at 21 Januari 2011
Sejak praktik demokrasi prosedural Indonesia memasuki fase liberal, persoalan media dan Pemilu layak didiskusikan. Sebuah landskap masalah baru yang sering menonjol memberikan sejumlah topik terkait media yang sangat menarik. Sejak 1999, kita sudah melewati tiga kali pemilihan umum secara langsung. Hubungan media dan pemilu pun berubah-ubah. Dalam pemilu 1999 media sering sebagai penggalangan masyarakat untuk aktif dalam pemilu. Sejak itu pula isu politik dikomersilkan di dalam media massa dan menjadi salah satu corak penting modal komunikasi politik di era demokrasi liberal. Kita melihat tak ada perbedaan antara produk komersial dengan produk non komersial di mata media massa. Ibarat merk dagangan, seluruh kontestasi Pemilu berada dalam bingkai media bisnis.
Pemilu 2004 dan 2009 menjadi contoh penting dalam hal ini. Pemilu langsung 2004 merupakan kali pertama di mana seorang kandidat tak lebih dari sekedar “merk” di mata media massa. Jika iklan masyarakat tidak dibedakan dengan iklan kecap, pemilu 2004 dan 2009 tidak ada bedanya kandidat dengan pepsodent. Tak ubahnya iklan pepsodent harga penayangan iklan seorang kandidat sudah diatur oleh televisi dengan bergantung pada jam tanyang.
Pemilu merupakan ouput nyata semangat purba survival of the fittest dari para kandidat. Dalam praktiknya, menggunakan media massa sebagai alat komunikasi efektif dalam melancarkan serangan kampanyenya. Dari sini adu kekuatan dalam kepemilikan media; pembelian slot penanyangan; dan kompetisi kreatif untuk merayu publik, berkawan dengan kepentingan oportunis media massa untuk mempertebal kantong-kantong suara.
Dalam posisi itu pula, warga negara telah disublimasi menjadi konsumen yang tak berdaya. Dalam perspektif kepentingan media, publik tak lebih dari sekedar data kuantitatif yang diajukan kandidat sebagai daya tawar harga air time. Simbiosis mutualisme ini antara media massa dan politisi telah meminggirkan warga sekedar menjadi pemain pasif.
Media menjadi perpanjangan tangan kepentingan penguasa, bahasa politik bermakna ganda untuk tujuan penghalusan maupun untuk kepentingan memberdayakan warganegara. Keduanya adalah bagian dari politik hegemoni sebagai syarat untuk mengukuhkan kuasa penguasa. Tak ayal lagi, kuasa bahasa menjadi representasi penggunaan media massa.
Fenomena dalam era transisi saat ini, media memiliki ruang yang lebih besar. Tetapi dibalik itu semua, ada sisi keunikannya. Karena sistem politik Indonesia berada dalam pusaran globalisasi, eksistensi media tak luput dari apa yang ada dalam pendirian kaum hegemonian. Mereka menempatkan kebudayaan global yang bersifat tunggal sebagai watak kapitalisme yang monolitik (struktur modal kapitalistik), sehingga seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi symboliknya mengacu pada ekspresi dominan atas nama pasar, dan media tak berfungsi sebagai representasi maupun rekonstruksi realitas sosial politik, melainkan lebih dari itu.
Peran Politik Media
Asumsi dasarnya media adalah institusi dan aktor politik yang memiliki hak-hak. Media juga dapat memerankan berbagai lakon politik, di antaranya mendukung transisi demokrasi atau menjadi oposisi. Seperti disinyalir oleh Cook, para jurnalis telah berhasil mendorong masyarakat untuk tak melihat mereka sebagai aktor politik, sedangkan para pakar politik juga telah gagal mengenali media sebagai sebuah institusi politik (Cook, 1998:4).
Penulis meminjam data yang dikeluarkan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang meneliti berita-berita pemilu 2009, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden yang dimuat dan ditayangkan di 11 statiun televisi di Jakarta. Dalam penelitian tersebut yang paling banyak diberitakan media massa dalam rentang waktu 16 hingga 26 Juni 2009 menyebutkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pasangan SBY-Boediono sebanyak 669 berita, sedangkan pasangan calon Jusuf Kalla-Wiranto 463 berita, dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo sebanyak 431 berita.
Hal ini mengindikasikan bahwa media dapat memainkan peranan yang sangat besar khususnya pada babak politik dalam masa transisi, karena media dapat bertindak sebagai agen perubahan. Seperti yang diungkapkan Neuman bahwa kebebasan memegang peranan penting di Asia Tenggara, khususnya dalam proses liberalisasi politik yang berhubungan dengan munculnya pers yang lebih terbuka dan kritis.
Bukan rahasia umum bahwa dua media yang menjadi mainstream berita kini dipegang oleh dua politisi yang bersebrangan yakni Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie. Bisa saja kedua tokoh tersebut mempromosikan kepentingan politik mereka dalam melegitimasi berita atas hasrat politiknya itu. Di tengah kegamangan seperti ini, para pakar politik merasa nyaman dengan melihat kontribusi politik dari media, maka mereka kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah institusi politik. Dengan kata lain para jurnalis telah berhasil menyakinkan para akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik.
Nah dalam prakteknya, sebenarnya media massa bersifat polivalen, misalnya kolumnis dan jurnalis yang berbeda menerapkan agen politik yang berbeda, halaman depan yang memuat kritik mengindikasikan bahwa publikasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan pemegang kekuasaan tertentu, sedangkan bagian editorial menampakkan dukungan halus mereka. Inilah sifat polivalen media yang di satu sisi mempunyai kepemilikan dan kontrol publikasi di sisi lain sebagai agen perubahan.
Melihat kajian media di negara-negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan pemilik modal. Media digunakan sebagai alat propaganda pemilik modal atau menjadi alat untuk melestarikan idelogi pengusaha media yang berperan aktif dalam politik praktis. Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari kepemilikan media untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya.
Indikator ini sudah terjadi di Indonesia yang mana tvOne dan Metrotv selalu membaguskan para pemiliknya dan tidak pernah memberitakan sesuatu yang buruk padanya. Misalnya kasus Lapindo yang sampai saat ini tidak terkuak siapa yang harus bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, seakan padam di siram oleh isu-isu lain yang lebih memihak kepada pasar.
Media dan Demokratisasi
Media memiliki andil dalam proses demokrasi di Indonesia. karena media dapat kita pahami sebagai sebuah titik pertemuan dari banyak kekuatan yang berkonflik dalam masyarakat modern. Bagaimana media ikut andil dalam runtuhnya rezim Orde Baru pada saat Soeharto dan para kroninya runtuh pada Mei 1998. Hal ini disinyalir oleh Koike sebagai peranan “politis media” dalam gerakan reformasi 1998.
Dalam teorinya Downs yang ditulis di buku An Economic Theory of Democracy (1957) menyatakan bahwa dalam proses politik partai berkompetisi untuk memperebutkan dukungan pemilih rasional. Hanya saja Downs tak memasukkan Jurnalis sebagai agen penting dalam studi politik. Pelanjutnya, teorotikus bernama Zeller yang merumuskan peran jurnalis dalam sistem demokrasi. Secara khusus, Zeller berpendapat bahwa politisi yang tengah memperluas ruang gerak dan pengaruhnya untuk berkomunikasi dengan pemilih (voters), paling tidak dalam beberapa waktu berhubungan dengan para jurnalis. Posisi jurnalis adalah penghantar suara pemilih. Dalam konteks itulah posisi media menjadi sangat strategis dalam konstelasi politik sebuah negara.
*Penulis adalah Peneliti di Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) UIN Jakarta
Pernah dimuat di Koran Jurnal Nasional Jum'at 21 Januari 2011