Kosmetika Demokrasi
Oleh Dirga Maulana
Peneliti di The Political Literacy Institute
Melihat Fenomena politik kontemporer di Indonesia semakin jauh dari harapan. Partai politik yang diharapkan mampu menerapkan demokrasi di internal partai dalam praktiknya kerap menafikan prinsip-prinsip demokrasi tersebut. Kini, banyak kasus terungkap di media massa dan menjadi beban demokrasi prosedural yang kita anut. Bangsa ini, terjebak pada rutinitas 5 tahunan untuk menentukan pemimpin bangsa, namun tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dalam penyelenggaraannya.
Demokrasi Prosedural
Contoh kasat mata dari buruknya institusionalisasi politik bisa kita amati dalam kisruh internal Demokrat. Setelah rilis survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait elektabilitas, elite Demokrat kelimpungan. Sejak mengeluarkan 8 poin solusi, penandatanganan pakta integritas hingga Rapimnas, Minggu (17/2), konsolidasi internal Demokrat nampaknya hanya berjalan semu. Yang menjadi urusan publik tentunya adalah posisi SBY di tengah pusaran persoalan Demokrat. Sebagai presiden yang masa jabatannya tinggal 1,5 tahun seharusnya SBY mementingkan urusan bangsa dan negara dibanding urusan kepartaian. Padahal mandat kekuasaan yang diberikan rakyat Indonesia kepada SBY tentunya agar dia mendedikasikan waktu dan pikirannya secara optimal untuk bangsa Indonesia.
Tak dimungkiri di tahun politik ini, akan banyak kejutan dan skenario besar yang dibuat dan dikembangkan para elit partai politik. Tujuannya adalah sebagai bagian dari proses delegitimasi pihak lawan, sekaligus mecari ruang publisitas politik untuk dirinya. Pemanfaatan beragam isu di ruang publik tersebut tentu menjadi penting bagi para politisi sebagai bagian dari strategi persuasi guna meningkatkan elektabilitas mereka. Makna politik luhur (high politic) semakin kabur dan dianggap utopia dengan menguatnya demokrasi prosedural sebagai kendali dari mutu demokrasi di Indonesia.
Dalam demokrasi prosedural 5 tahunan, kita hanya terjebak pada rutinitas yang keropos. Kerja politik yang melibatkan elite baru dimulai ketika menjelang pemilu. Mereka berlomba-lomba merebut hati masyarakat dengan memasang banyak baliho besar, spanduk, stiker dan tak jarang beriklan di televisi, kemudian melakukan propaganda di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Permasalahan yang muncul kerapkali instrumentalistik, seperti Daftar Pemilih Tetap (DPT), urusan pilkada, rebutan posisi di partai dll. Minimnya pemberdayaan politik warga menggambarkan sebuah dinamika politik yang belum dewasa.
Memang dalam demokrasi prosedural biaya politik yang dikeluarkan sangat besar. Logika yang digunakan kerapkali mencerminkan mencari keuntungan dalam jabatan-jabatan strategis untuk mengembalikan uang yang telah digunakan selama kampanye. Mahalnya ongkos politik itu menyebabkan banyaknya kasus korupsi yang menjerat para pemimpin partai. Karena logika yang dibangun adalah bagaimana mereka bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan selama kampanye. Dalam hal ini sesuai dengan apa yang diistilahkan oleh Olle Tornquist akan munculnya “demokrasi kaum penjahat” di Indonesia. Demokrasi akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi oleh partisipasi rakyat yang sungguh-sungguh dalam pemilu. Munculnya kolaborasi kekuatan mantan elit militer dengan pengusaha yang kemudian mengkoptasi pemilih melalui pengendalian opini yang masif menjadi contoh nyata. Tak hanya itu, “demokrasi kaum penjahat” terlihat dalam berbagai kasus korupsi yang muncul di lingkaran partai politik dan elit politik. Permainan ini, tak hanya berhenti sampai di situ, mereka para elite memaksimalkan permainan mereka untuk menyongsong pemilihan umum selanjutnya dengan dana-dana yang terkumpul dari hasil bancakan uang rakyat.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap wakil mereka di pemerintahan seharusnya menjadi bahan evaluasi partai politik untuk memperbaiki kinerjanya selama ini. Dalam demokrasi prosedural, dituntut pula adanya partisipasi publik di dalam proses berdemokrasi. Karena demokrasi yang baik tak hanya berkaitan dengan prosedur, melainkan juga berkaitan dengan hasil untuk konsolidasi demokrasi bangsa ini. Oleh karenanya, perlu demokrasi substantif guna menjamin mutu demokrasi di Indonesia.
Demokrasi Substantif
Jika kita menganut sistem demokrasi substantif, maka prosesnya tidak akan menafikan penguatan dan pemberdayaan politik warga. Oleh karena itu, partisipasi warga atau partisipasi publik sangat berperan penting dalam membangun demokrasi substantif. Hal ini, juga telah diungkapkan oleh Nancy Robert dalam buku Public Deliberation in an Age of Direct Citizen Participation (2004) bahwa partisipasi publik merupakan aspek yang sangat penting dalam demokrasi.
Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition (1959) menggarisbawahi pentingnya kesadaran masyarakat terhadap politik. Arendt menitikberatkan pemahaman bahwa manusia selalu mengandaikan kehadiran orang lain. Konsepsi politik ini bisa ditafsirkan sebagai kesadaran politik warga atas proses demokrasi. Sederhananya, warga harus memiliki kesadaran dalam politik.
Modal kesadaran warga tentu menjadi penentu bagi kelangsungan hidup berdemokrasi. Tetapi demokrasi yang kita saksikan di Indonesia saat ini, telah menjadi alat bagi orang-orang yang memiliki modal besar dan memiliki popularitas guna mendulang kekuasaan yang berujung pada keuntungan pribadi. Mereka. tak lagi berbicara atau bertindak atas nama kepentingan bersama. Para politisi berbicara dan bertindak atas kehendak berkuasa dan meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Jika hal seperti itu terjadi terus menerus maka tak ayal lagi bangsa ini hanya akan merasakan kehadiran demokrasi kosmetik. Politik hanya dianggap sebagai urusan citra yang dangkal dalam perebutan kekuasaan. Panggung pencitraan aktor semakin dominan dan mengesampingkan atau memarjinalkan pemilih. Bagi Alian Badiou dalam karya magnum opus-nya Being and Event (2006) dalam politik sebenarnya kita harus melakukan inovasi baru untuk menciptakan “being” dan “event”. Maksudnya apa yang dilakukan itu membentuk perubahan transformatif dari yang prosedural menuju substansial. Aktor politik menjadi pemeran utama dalam perubahan sosial yang melingkupi proses transformasi politik tersebut. Manusia politik dituntut melakukan tindakan otentik, spontan dan otonom. Manusia politik tak lain adalah manusia tindakan (man of action) yang merujuk pada individu-individu unik serta terbebas dari dominasi siapa pun. Kita tentu berharap terjadinya perubahan transformatif di 2014 untuk menciptakan mutu demokrasi yang lebih baik di Indonesia.
Peneliti di The Political Literacy Institute
Melihat Fenomena politik kontemporer di Indonesia semakin jauh dari harapan. Partai politik yang diharapkan mampu menerapkan demokrasi di internal partai dalam praktiknya kerap menafikan prinsip-prinsip demokrasi tersebut. Kini, banyak kasus terungkap di media massa dan menjadi beban demokrasi prosedural yang kita anut. Bangsa ini, terjebak pada rutinitas 5 tahunan untuk menentukan pemimpin bangsa, namun tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dalam penyelenggaraannya.
Demokrasi Prosedural
Contoh kasat mata dari buruknya institusionalisasi politik bisa kita amati dalam kisruh internal Demokrat. Setelah rilis survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait elektabilitas, elite Demokrat kelimpungan. Sejak mengeluarkan 8 poin solusi, penandatanganan pakta integritas hingga Rapimnas, Minggu (17/2), konsolidasi internal Demokrat nampaknya hanya berjalan semu. Yang menjadi urusan publik tentunya adalah posisi SBY di tengah pusaran persoalan Demokrat. Sebagai presiden yang masa jabatannya tinggal 1,5 tahun seharusnya SBY mementingkan urusan bangsa dan negara dibanding urusan kepartaian. Padahal mandat kekuasaan yang diberikan rakyat Indonesia kepada SBY tentunya agar dia mendedikasikan waktu dan pikirannya secara optimal untuk bangsa Indonesia.
Tak dimungkiri di tahun politik ini, akan banyak kejutan dan skenario besar yang dibuat dan dikembangkan para elit partai politik. Tujuannya adalah sebagai bagian dari proses delegitimasi pihak lawan, sekaligus mecari ruang publisitas politik untuk dirinya. Pemanfaatan beragam isu di ruang publik tersebut tentu menjadi penting bagi para politisi sebagai bagian dari strategi persuasi guna meningkatkan elektabilitas mereka. Makna politik luhur (high politic) semakin kabur dan dianggap utopia dengan menguatnya demokrasi prosedural sebagai kendali dari mutu demokrasi di Indonesia.
Dalam demokrasi prosedural 5 tahunan, kita hanya terjebak pada rutinitas yang keropos. Kerja politik yang melibatkan elite baru dimulai ketika menjelang pemilu. Mereka berlomba-lomba merebut hati masyarakat dengan memasang banyak baliho besar, spanduk, stiker dan tak jarang beriklan di televisi, kemudian melakukan propaganda di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Permasalahan yang muncul kerapkali instrumentalistik, seperti Daftar Pemilih Tetap (DPT), urusan pilkada, rebutan posisi di partai dll. Minimnya pemberdayaan politik warga menggambarkan sebuah dinamika politik yang belum dewasa.
Memang dalam demokrasi prosedural biaya politik yang dikeluarkan sangat besar. Logika yang digunakan kerapkali mencerminkan mencari keuntungan dalam jabatan-jabatan strategis untuk mengembalikan uang yang telah digunakan selama kampanye. Mahalnya ongkos politik itu menyebabkan banyaknya kasus korupsi yang menjerat para pemimpin partai. Karena logika yang dibangun adalah bagaimana mereka bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan selama kampanye. Dalam hal ini sesuai dengan apa yang diistilahkan oleh Olle Tornquist akan munculnya “demokrasi kaum penjahat” di Indonesia. Demokrasi akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi oleh partisipasi rakyat yang sungguh-sungguh dalam pemilu. Munculnya kolaborasi kekuatan mantan elit militer dengan pengusaha yang kemudian mengkoptasi pemilih melalui pengendalian opini yang masif menjadi contoh nyata. Tak hanya itu, “demokrasi kaum penjahat” terlihat dalam berbagai kasus korupsi yang muncul di lingkaran partai politik dan elit politik. Permainan ini, tak hanya berhenti sampai di situ, mereka para elite memaksimalkan permainan mereka untuk menyongsong pemilihan umum selanjutnya dengan dana-dana yang terkumpul dari hasil bancakan uang rakyat.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap wakil mereka di pemerintahan seharusnya menjadi bahan evaluasi partai politik untuk memperbaiki kinerjanya selama ini. Dalam demokrasi prosedural, dituntut pula adanya partisipasi publik di dalam proses berdemokrasi. Karena demokrasi yang baik tak hanya berkaitan dengan prosedur, melainkan juga berkaitan dengan hasil untuk konsolidasi demokrasi bangsa ini. Oleh karenanya, perlu demokrasi substantif guna menjamin mutu demokrasi di Indonesia.
Demokrasi Substantif
Jika kita menganut sistem demokrasi substantif, maka prosesnya tidak akan menafikan penguatan dan pemberdayaan politik warga. Oleh karena itu, partisipasi warga atau partisipasi publik sangat berperan penting dalam membangun demokrasi substantif. Hal ini, juga telah diungkapkan oleh Nancy Robert dalam buku Public Deliberation in an Age of Direct Citizen Participation (2004) bahwa partisipasi publik merupakan aspek yang sangat penting dalam demokrasi.
Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition (1959) menggarisbawahi pentingnya kesadaran masyarakat terhadap politik. Arendt menitikberatkan pemahaman bahwa manusia selalu mengandaikan kehadiran orang lain. Konsepsi politik ini bisa ditafsirkan sebagai kesadaran politik warga atas proses demokrasi. Sederhananya, warga harus memiliki kesadaran dalam politik.
Modal kesadaran warga tentu menjadi penentu bagi kelangsungan hidup berdemokrasi. Tetapi demokrasi yang kita saksikan di Indonesia saat ini, telah menjadi alat bagi orang-orang yang memiliki modal besar dan memiliki popularitas guna mendulang kekuasaan yang berujung pada keuntungan pribadi. Mereka. tak lagi berbicara atau bertindak atas nama kepentingan bersama. Para politisi berbicara dan bertindak atas kehendak berkuasa dan meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Jika hal seperti itu terjadi terus menerus maka tak ayal lagi bangsa ini hanya akan merasakan kehadiran demokrasi kosmetik. Politik hanya dianggap sebagai urusan citra yang dangkal dalam perebutan kekuasaan. Panggung pencitraan aktor semakin dominan dan mengesampingkan atau memarjinalkan pemilih. Bagi Alian Badiou dalam karya magnum opus-nya Being and Event (2006) dalam politik sebenarnya kita harus melakukan inovasi baru untuk menciptakan “being” dan “event”. Maksudnya apa yang dilakukan itu membentuk perubahan transformatif dari yang prosedural menuju substansial. Aktor politik menjadi pemeran utama dalam perubahan sosial yang melingkupi proses transformasi politik tersebut. Manusia politik dituntut melakukan tindakan otentik, spontan dan otonom. Manusia politik tak lain adalah manusia tindakan (man of action) yang merujuk pada individu-individu unik serta terbebas dari dominasi siapa pun. Kita tentu berharap terjadinya perubahan transformatif di 2014 untuk menciptakan mutu demokrasi yang lebih baik di Indonesia.
Belajar Ideologi kontemporer
Belajar Ideologi Kontemporer
Oleh Dirga Maulana**
Judul : Setelah Marxisme
Penulis : Donny Gahral Adian
Penerbit : Koekoesan
Tahun : I, Juni 2011
Tebal : v - 173 halaman
Harga : 40.000
Hal yang menarik kita perhatikan saat ini adalah bagaimana ideologi berperan di tengah kehidupan kita. Teori ideologi memang bermula dari Marxisme. Ideologi sebagai teori diyakini oleh Marx tidaklah netral.
Ketidak netralan inilah yang kemudian diyakini sebagai bentuk gagasan yang senantiasa menyembunyikan kepentingan kelompok berkuasa, sedangkan kekuasaan adalah fungsi dari kekuatan ekonomi. Sejarah manusia senantiasa memiliki kasta sendiri. Misalnya, masyarakat Feodalisme menyimpan penindasan tuan tanah terhadap hamba sahayanya. Feodalisme juga sering memakai gagasan teologis tentang keajekan strata sosial sebagai kehendak Tuhan. Sedangkan masyarakat Kapitalisme mengubah arsitektur eksploitasi menjadi penghisapan tenaga kerja buruh untuk keuntungan ekonomi. Selain itu, kapitalisme juga selalu memakai gagasan yuridis mengenai kontrak sebagai pengikat sukarela antara dua pihak. Hal demikian ini masih sangat relevan untuk kita bicarakan mengenai ideologi kontemporer.
Nah sebenarnya, gagasan-gagasan tersebut bukanlah suatu “kebenaran absolut”, melainkan kepentingan yang dipalsukan. Gagasan “kehendak Tuhan” merupakan tersembunyinya kepentingan kelas feodal untuk memelihara status quo. Sedangkan gagasan “kontrak” yang menjadi ciri kapitalisme merupakan kepentingan kelas kapital untuk mempertahankan posisi tawarnya. Kontrak terlihat sepintas memang seperti adil dan sejajar. Namun, tenaga kerja sesungguhnya tidak memiliki posisi tawar atau posisi tawar yang rendah akibat ia tidak memiliki kapital (tanah, pabrik, mesin).
Kesadaran hamba sahaya dan buruh merupakan kesadaran palsu yang tidak akan berubah sebelum struktur ekonomi yang mengurungnya berubah. Apalagi Marx percaya dengan “hukum besi sejarah”. Yang mengakibatkan struktur ekonomi akan meledak karena dinamika internalnya sendiri. Kemudian kekuatan produksi yang berlipat akibat teknologi akan mengakibatkan rasionalisasi besar-besaran, sehingga pasar pun menyusut. Selanjutnya, penggunaan teknologi secara masif juga merupakan kekeliruan yang fatal. Sebab, itu berarti mengganti kekuatan produksi penghasil nilai lebih (tenaga) dengan yang tidak (mesin). Fenomena teknology mesin yang menggantikan tenaga manusia menjadi fenomena tersendiri dalam masyarakat kapitalisme. Hal ini yang menurut Marx bahwa kapitalisme menyimpan krisis atau “sedang menggali liang kuburnya sendiri”.
Dalam buku Donny Gahral Adian ini, ia mencatat bahwa Marx mempunyai dua teori tentang ideologi yang saling bertolak belakang. Teori pertama bersandar pada premis bahwa “kelas sosial menentukan kesadaran”. Jadi setiap kelas memiliki sistem keyakinannya sendiri, yang pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan partikular kelas tersebut. Premis kedua berbunyi bahwa struktur ekonomi masyarakat (struktur dasar) menentukan suprastruktur legal dan politik.
Struktur dasar harus dipahami sebagai relasi kelas yang hirarkis, kelas pemilik modal versus kelas buruh. Relasi tersebut sempurna akibat terpantul dalam relasi gagasan. Gagasan kaum dominan menurut Marx selalu saja mengendalikan, baik produksi pikiran maupun material.
Kedua teori tersebut terlihat bertolak belakang satu sama lain. Mengapa demikian? Karena teori pertama menekankan betapa setiap kelas memiliki sistem keyakinannya sendiri, sedangkan teori kedua mengatakan bahwa semua kelas berbagi satu sistem keyakinan yaitu gagasan kelas berkuasa atau dominan.
Di sisi lain Georg Lukacs (1885-1971) memiliki penjelasan tersendiri tentang paradoks internal Marxisme tersebut. Kelas buruh memang mempunyai gagasannya sendiri. Hanya saja, gagasan tersebut tidak berkembang karena kelas berkuasa berhasil memaksakan gagasannya melalui dominasi kelas berkuasa. Alhasil, kesadaran buruh bukan kesadaran palsu, melainkan kesadaran parsial.
Kesadaran parsial muncul akibat kerja hegemoni pemilik modal yang menguasai buruh, tetapi buruh sebenarnya mempunyai sistem kepribadian. Ciri inilah yang menjadi berbeda dengan perkataan Marx tentang kesadaran palsu, bagi Lukacs bukanlah kesadaran palsu melainkan kesadaran parsial.
Kemudian teori ideologi ber-evolusi dari determinisme ekonomi (Marx) menuju mekanisme ideologi dan siasat perlawanan yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Bagi Gramsci revolusi bukan lagi jalan keluar utama dari ketertindasan kelas. Menurutnya ketertindasan kelas harus dilawan dengan cara-cara kontra Hegemoni, seperti ulasan menarik Gramsci dalam Prison Notebooks-nya (1971). Gramsci mencatat bahwa sebuah kelompok menjadi hegemonik bilamana kelompok tersebut mengartikulasikan kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik.
Misalnya pemberlakuan PERDA Syariah dalam konstelasi politik di Indonesia menjadi perhatian menarik. Bagaimana ideologi sayap kanan bekerja untuk mengartikulasikan kepentingan sektoralnya menjadi kepentingan umum, lalu berusaha merealisasikannya dalam kepemimpinan moral sebagai tuntutan dan politik. Melihat point penting dari cara bekerja hegemoni adalah dengan “persetujuan” yang terlihat sepintas sebagai sesuatu yang tanpa paksaan.
Tetapi bagi Gramsci pemaksaan selalu dibayangi atau ditutupi oleh persetujuan. Dalam versi yang lebih halus, hegemoni melibatkan sebuah standar dalam konteks negosiasi dan kompromi di antara kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda.
Biasanya kita menyebutnya hegemoni yang mengandung “tendensi demokratis” yang dibangun atas dasar pemahaman bahwa masyarakat terdiri dari individu yang bebas dan otonom, masing-masing mengejar kepentingan pribadi.
Buku ini menjadi menarik ketika menjelaskan ideologi-ideologi kontemporer setelah Marx yang saling mengisi melihat realitas kehidupan. Bagaimana ideologi berperan dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa kita sadari terus menyelimuti perkembangan manusia.
Bagi Zizek ideologi bukanlah kesadaran palsu, melainkan realitas sosial itu sendiri. Foucault juga melanjutkan perjalanan teori ideologi dengan menekankan betapa realitas sosial sudah diatur oleh sebuah rezim diskursif, baginya ideologi tidak lagi bekerja untuk menyembunyikan kebenaran, tapi malah memproduksi kebenaran. Jadi tak ada kebenaran di balik ideologi.
Buku ini membahas teori ideologi telah memasuki fase baru yang menyudahi Marxisme. Teori ideologi kontemporer tidak lain adalah “sesudah Marxisme”.
**Peresensi kini aktif sebagai peneliti di The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)
Pernah dimuat di Koran SINDO, minggu, 28 Agustus 2011.
Oleh Dirga Maulana**
Judul : Setelah Marxisme
Penulis : Donny Gahral Adian
Penerbit : Koekoesan
Tahun : I, Juni 2011
Tebal : v - 173 halaman
Harga : 40.000
Hal yang menarik kita perhatikan saat ini adalah bagaimana ideologi berperan di tengah kehidupan kita. Teori ideologi memang bermula dari Marxisme. Ideologi sebagai teori diyakini oleh Marx tidaklah netral.
Ketidak netralan inilah yang kemudian diyakini sebagai bentuk gagasan yang senantiasa menyembunyikan kepentingan kelompok berkuasa, sedangkan kekuasaan adalah fungsi dari kekuatan ekonomi. Sejarah manusia senantiasa memiliki kasta sendiri. Misalnya, masyarakat Feodalisme menyimpan penindasan tuan tanah terhadap hamba sahayanya. Feodalisme juga sering memakai gagasan teologis tentang keajekan strata sosial sebagai kehendak Tuhan. Sedangkan masyarakat Kapitalisme mengubah arsitektur eksploitasi menjadi penghisapan tenaga kerja buruh untuk keuntungan ekonomi. Selain itu, kapitalisme juga selalu memakai gagasan yuridis mengenai kontrak sebagai pengikat sukarela antara dua pihak. Hal demikian ini masih sangat relevan untuk kita bicarakan mengenai ideologi kontemporer.
Nah sebenarnya, gagasan-gagasan tersebut bukanlah suatu “kebenaran absolut”, melainkan kepentingan yang dipalsukan. Gagasan “kehendak Tuhan” merupakan tersembunyinya kepentingan kelas feodal untuk memelihara status quo. Sedangkan gagasan “kontrak” yang menjadi ciri kapitalisme merupakan kepentingan kelas kapital untuk mempertahankan posisi tawarnya. Kontrak terlihat sepintas memang seperti adil dan sejajar. Namun, tenaga kerja sesungguhnya tidak memiliki posisi tawar atau posisi tawar yang rendah akibat ia tidak memiliki kapital (tanah, pabrik, mesin).
Kesadaran hamba sahaya dan buruh merupakan kesadaran palsu yang tidak akan berubah sebelum struktur ekonomi yang mengurungnya berubah. Apalagi Marx percaya dengan “hukum besi sejarah”. Yang mengakibatkan struktur ekonomi akan meledak karena dinamika internalnya sendiri. Kemudian kekuatan produksi yang berlipat akibat teknologi akan mengakibatkan rasionalisasi besar-besaran, sehingga pasar pun menyusut. Selanjutnya, penggunaan teknologi secara masif juga merupakan kekeliruan yang fatal. Sebab, itu berarti mengganti kekuatan produksi penghasil nilai lebih (tenaga) dengan yang tidak (mesin). Fenomena teknology mesin yang menggantikan tenaga manusia menjadi fenomena tersendiri dalam masyarakat kapitalisme. Hal ini yang menurut Marx bahwa kapitalisme menyimpan krisis atau “sedang menggali liang kuburnya sendiri”.
Dalam buku Donny Gahral Adian ini, ia mencatat bahwa Marx mempunyai dua teori tentang ideologi yang saling bertolak belakang. Teori pertama bersandar pada premis bahwa “kelas sosial menentukan kesadaran”. Jadi setiap kelas memiliki sistem keyakinannya sendiri, yang pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan partikular kelas tersebut. Premis kedua berbunyi bahwa struktur ekonomi masyarakat (struktur dasar) menentukan suprastruktur legal dan politik.
Struktur dasar harus dipahami sebagai relasi kelas yang hirarkis, kelas pemilik modal versus kelas buruh. Relasi tersebut sempurna akibat terpantul dalam relasi gagasan. Gagasan kaum dominan menurut Marx selalu saja mengendalikan, baik produksi pikiran maupun material.
Kedua teori tersebut terlihat bertolak belakang satu sama lain. Mengapa demikian? Karena teori pertama menekankan betapa setiap kelas memiliki sistem keyakinannya sendiri, sedangkan teori kedua mengatakan bahwa semua kelas berbagi satu sistem keyakinan yaitu gagasan kelas berkuasa atau dominan.
Di sisi lain Georg Lukacs (1885-1971) memiliki penjelasan tersendiri tentang paradoks internal Marxisme tersebut. Kelas buruh memang mempunyai gagasannya sendiri. Hanya saja, gagasan tersebut tidak berkembang karena kelas berkuasa berhasil memaksakan gagasannya melalui dominasi kelas berkuasa. Alhasil, kesadaran buruh bukan kesadaran palsu, melainkan kesadaran parsial.
Kesadaran parsial muncul akibat kerja hegemoni pemilik modal yang menguasai buruh, tetapi buruh sebenarnya mempunyai sistem kepribadian. Ciri inilah yang menjadi berbeda dengan perkataan Marx tentang kesadaran palsu, bagi Lukacs bukanlah kesadaran palsu melainkan kesadaran parsial.
Kemudian teori ideologi ber-evolusi dari determinisme ekonomi (Marx) menuju mekanisme ideologi dan siasat perlawanan yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Bagi Gramsci revolusi bukan lagi jalan keluar utama dari ketertindasan kelas. Menurutnya ketertindasan kelas harus dilawan dengan cara-cara kontra Hegemoni, seperti ulasan menarik Gramsci dalam Prison Notebooks-nya (1971). Gramsci mencatat bahwa sebuah kelompok menjadi hegemonik bilamana kelompok tersebut mengartikulasikan kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik.
Misalnya pemberlakuan PERDA Syariah dalam konstelasi politik di Indonesia menjadi perhatian menarik. Bagaimana ideologi sayap kanan bekerja untuk mengartikulasikan kepentingan sektoralnya menjadi kepentingan umum, lalu berusaha merealisasikannya dalam kepemimpinan moral sebagai tuntutan dan politik. Melihat point penting dari cara bekerja hegemoni adalah dengan “persetujuan” yang terlihat sepintas sebagai sesuatu yang tanpa paksaan.
Tetapi bagi Gramsci pemaksaan selalu dibayangi atau ditutupi oleh persetujuan. Dalam versi yang lebih halus, hegemoni melibatkan sebuah standar dalam konteks negosiasi dan kompromi di antara kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda.
Biasanya kita menyebutnya hegemoni yang mengandung “tendensi demokratis” yang dibangun atas dasar pemahaman bahwa masyarakat terdiri dari individu yang bebas dan otonom, masing-masing mengejar kepentingan pribadi.
Buku ini menjadi menarik ketika menjelaskan ideologi-ideologi kontemporer setelah Marx yang saling mengisi melihat realitas kehidupan. Bagaimana ideologi berperan dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa kita sadari terus menyelimuti perkembangan manusia.
Bagi Zizek ideologi bukanlah kesadaran palsu, melainkan realitas sosial itu sendiri. Foucault juga melanjutkan perjalanan teori ideologi dengan menekankan betapa realitas sosial sudah diatur oleh sebuah rezim diskursif, baginya ideologi tidak lagi bekerja untuk menyembunyikan kebenaran, tapi malah memproduksi kebenaran. Jadi tak ada kebenaran di balik ideologi.
Buku ini membahas teori ideologi telah memasuki fase baru yang menyudahi Marxisme. Teori ideologi kontemporer tidak lain adalah “sesudah Marxisme”.
**Peresensi kini aktif sebagai peneliti di The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)
Pernah dimuat di Koran SINDO, minggu, 28 Agustus 2011.